21 Agustus 2008

Sulitnya Mencari Sekolah Yang Bermutu

Forum
Sulitnya Mencari Sekolah yang Bermutu
Rabu, 9 Juli 2008 | 11:55 WIB

Oleh HJ Sriyanto

Tahun ajaran baru menjelang. Kesibukan mencari dan memilih sekolah sudah terasa. Hal ini bisa dimaklumi karena setiap orangtua tentu mengharapkan sekolah yang terbaik bagi anak-anaknya. Namun demikian, mencari sekolah yang baik dan bermutu bukanlah perkara gampang. Tak heran jika orangtua harus terlebih dulu sibuk menyurvei berbagai sekolah untuk mengetahui fasilitas dan keunggulan yang ditawarkan guna menunjang pendidikan sang anak.

Selama ini, publikasi mengenai sekolah yang bermutu di Indonesia memang jarang atau bisa dikatakan sama sekali tidak pernah dilakukan baik oleh instansi swasta, lembaga swadaya masyarakat, maupun oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Dengan demikian, referensi masyarakat tentang kualitas sekolah-sekolah di Indonesia begitu minim. Ditambah lagi kini banyak sekali label-label sekolah, seperti SSN, SSI, SBI, sekolah plus, dan lain sebagainya yang semakin membingungkan masyarakat karena tak tahu apa arti di balik label-label tersebut dan apa yang membedakan sekolah dengan label yang satu dengan sekolah label yang lain.

Memang setiap tahun Depdiknas melalui Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik) membuat peringkat SMP dan SMA berdasarkan nilai ujian nasional (UN) tertinggi di seluruh Indonesia. Namun, tentu kualitas sebuah sekolah tidak bisa diukur hanya dengan menggunakan nilai UN. Ini yang sering kali membuat salah kaprah dalam menilai sebuah sekolah. Kriteria pendidikan bermutu di Indonesia, selama ini, masih identik dengan prestasi akademik. Seolah-olah sekolah yang baik dan berkualitas itu adalah sekolah yang rata-rata nilai UN-nya tinggi. Penilaian demikian semakin dikukuhkan dengan adanya sistem penerimaan siswa baru yang didasarkan pada nilai UN. Sekolah-sekolah yang dianggap bermutu dan favorit, khususnya sekolah negeri, menyeleksi calon siswa baru berdasarkan nilai UN itu.

Tentu saja kita masih bisa mempertanyakan, apakah hasil UN yang tinggi yang dicapai siswa itu hasil proses pembelajaran yang baik di sekolah itu atau siswa tersebut mendapatkan nilai baik karena bantuan les privat atau lembaga bimbingan belajar yang men-drill-nya setiap hari selepas sekolah? Kok tampaknya, bukan jaminan bahwa nilai rata-rata UN yang tinggi yang dicapai sebuah sekolah menunjukkan kualitas proses pembelajaran di sekolah tersebut.

Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi sekolah untuk dapat dikatakan bermutu. Sekolah itu harus memiliki visi dan misi yang dirumuskan secara jelas dan menjadi dasar acuan dalam setiap praksis pendidikannya. Sekolah memiliki kurikulum pendidikan yang terstruktur dan kreatif yang mendukung terwujudnya visi dan misi pendidikannya. Sekolah memiliki tenaga pendidik yang profesional, memiliki etos kerja tinggi, kreatif, jujur, dan terampil; mempunyai manajemen dan supervisi yang diterapkan secara kontinu, tepat, dan benar; serta didukung dengan fasilitas, sarana dan prasarana yang memadai. Selain itu, sekolah memiliki jaringan kerja sama yang luas dengan berbagai pihak yang semakin mendukung proses pendidikan yang baik dan bermutu.

Pemerintah sebenarnya sejak tahun 2005 mengeluarkan peraturan pemerintah (PP) tentang standar nasional pendidikan yang bisa menjadi acuan untuk menilai kualitas sebuah sekolah. Berdasarkan PP Nomor 19 Tahun 2005 tersebut, ada delapan standar yang mesti dipenuhi dalam penyelenggaraan sekolah, yaitu standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Semestinya dengan acuan standar itu pemerintah bisa membuat penilaian terhadap kualitas sekolah-sekolah dan mengumumkannya sehingga publik dengan mudah bisa menentukan sekolah yang dikehendaki. Selain itu, peta mutu pendidikan Tanah Air akan semakin jelas dan dengan demikian dapat diambil kebijakan-kebijakan strategis untuk peningkatan mutu pendidikan.

Mahal

Sayang memang, masyarakat tidak banyak yang tahu pasti sekolah- sekolah mana saja yang telah memenuhi standar berdasarkan PP No 19/2005 tersebut. Bisa diprediksikan sekolah-sekolah yang memenuhi standar tersebut biasanya biayanya akan mahal. Ini karena, di negara ini, sekolah yang berkualitas telanjur identik dengan sekolah mahal. Namun, apakah sekolah yang bermutu selalu harus mahal? Masih adakah sekolah yang bermutu tapi tidak mahal?

Mungkin akan sulit mencari sekolah yang bermutu dengan biaya murah. Akan tetapi, dengan campur tangan, perhatian, dan dukungan berbagai pihak, bukan hal yang mustahil mewujudkan sekolah bermutu dengan biaya yang terjangkau. Sebagai inspirasi, ada banyak sekolah hebat yang terlahir dari keprihatinan atas situasi semacam itu. Sekolah yang diprakarsai orang-orang yang memiliki kecintaan dan perhatian yang besar terhadap dunia pendidikan, seperti di Yogyakarta ada SD Mangunan yang digagas almarhum Romo Mangun, di Salatiga Bahrudin dengan Sekolah Alternatif Qaryah Thayyibahnya.

Untuk mewujudkan sekolah yang bermutu, perhatian dan komitmen pemerintah daerah mutlak diperlukan. Pendidikan mesti menjadi agenda penting dan menjadi prioritas pemerintah daerah. Di beberapa daerah, hal ini juga sudah mulai tampak, seperti di Kabupaten Bantul yang menempatkan pendidikan sebagai prioritas pertama agenda pembangunan. Pun dengan yang dilakukan pemerintah daerah Bekasi yang membebaskan biaya pendidikan di sekolah dasar, dan belum lama ini mencanangkan mulai tahun ajaran 2008/2009 sekolah-sekolah menengah negeri di wilayah Bekasi bebas uang gedung.

Pemerintah daerah Jembrana, Bali, telah lebih dulu menggratiskan biaya sekolah dari SD hingga SMA mulai beberapa tahun lalu. Semoga apa yang dilakukan oleh pemerintah-pemerintah daerah tersebut menginspirasi pemerintah daerah lain untuk melakukan hal yang sama. Dengan begitu, kita bisa berharap, pendidikan sungguh bisa diakses oleh seluruh kalangan masyarakat. Dengan tidak lagi memikirkan mahalnya biaya sekolah, masyarakat pun bisa lebih memfokuskan diri pada peningkatan mutu pendidikan.

Pendidikan bagaimanapun merupakan aset penting bangsa ini, maka peningkatan mutu pendidikan mesti diusahakan terus-menerus dan membutuhkan campur tangan dari banyak pihak. Semoga ke depan kita tak bingung-bingung lagi mencari sekolah yang bermutu!

HJ Sriyanto Guru SMA Kolese De Britto Yogyakarta

13 Maret 2008

Mempertimbangkan Masa Depan Anak-Anak Kita

Apa yang dilakukan terhadap anak-anak pada saat sekarang, akan menentukan keberlangsungan sejarah peradaban negeri ini. Kejayaan atau keterbelakangan bangsa ini di masa depan sangat ditentukan oleh apa yang terjadi pada anak-anak di masa kini. Dengan kata lain, di tangan-tangan anak-anaklah masa depan bangsa berada.
Salah satu yang diyakini dapat menyiapkan dan membekali generasi yang berkualitas di masa mendatang adalah pendidikan. Bahkan ada sementara pihak yang meyakini bahwa kejayaan suatu bangsa hanya bisa dicapai melalui pendidikan. Pendidikan merupakan investasi paling besar yang harus dilakukan oleh suatu bangsa, jika ingin menjadi bangsa yang terhormat. Negara miskin sumber daya alam seperti Jepang, Singapura, atau negara-negara di Eropa, menjadi bangsa ‘berjaya’ bukan lantaran sumber daya alamnya, melainkan karena pendidikan. Sudah sejak awal mula mereka menyadari pentingnya untuk menempatkan pendidikan sebagai prioritas dalam pembangunan. Sehingga wajar jika sekarang negara-negara tersebut memiliki sumber daya manusia berkualitas yang mampu bersaing dan mengendalikan percaturan global.
Jika menengok kondisi pendidikan anak-anak Indonesia saat sekarang, boleh dibilang masih cukup memprihatinkan. Saat ini 44 juta penduduk Indonesia usia sekolah tidak terlayani pendidikannya, atau putus sekolah. Data Balitbang Depdiknas menunjukkan masih sekitar 19 juta anak usia 0 sampai 6 tahun belum mendapat pendidikan. Sekitar 2 juta anak usia 7 sampai 12 tahun tidak terakses di sekolah dasar. Sekitar 7 juta anak usia 13 hingga 15 tahun tidak terakses di SLTP. Dan sekitar 16 juta penduduk usia 15 tahun ke atas masih menyandang buta aksara. Itulah realitas jutaan anak-anak Indonesia berkaitan dengan akses pendidikan.
Namun kenyataan tersebut tampaknya belum menjadi keprihatinan banyak pihak di negeri ini. Sebaliknya banyak pihak cenderung menutup mata, tak peduli dengan nasib jutaan anak tersebut. Sebagai contoh konkrit, jika di suatu kampung, ada satu atau dua anak yang putus sekolah, biasanya hal itu tidak terperhatikan oleh masyarakat sekelilingnya, dan seringkali dianggap sebagai hal yang biasa dan dibiarkan begitu saja. Kalau di negeri ini ada tiga belas ribu pulau, ada tiga puluhan propinsi, ada tiga ratusan lebih kabupaten, dan di setiap kabupaten ada ratusan kampung, maka jika di satu kampung saja ada dua atau tiga anak yang putus sekolah, sudah berapa banyak anak putus sekolah yang dibiarkan dan dianggap sebagai suatu kewajaran? Hal yang tampaknya dianggap wajar, bukan merupakan suatu masalah, tapi jika dilihat secara makro, kaitannya dengan masa depan adalah masalah besar bagi bangsa ini.
Berbicara mengenai nasib jutaan anak yang kurang beruntung, tidak bisa dilepaskan dari kondisi bangsa saat ini. Keadaan negara yang belum mampu membebaskan diri dari jerat berbagai multi krisis, mulai dari krisis ekonomi, politik, sosial, keamanan sampai ancaman disintegrasi bangsa, berimbas pada sebagian besar masyarakat, khususnya lapisan masyarakat menengah ke bawah. Dampak yang paling kentara berkait dengan masalah ekonomi. Hampir sebagian besar masyarakat lapisan menengah ke bawah mengalami kesulitan ekonomi, bahkan untuk sekedar memenuhi kebutuhan dasar, seperti sandang, papan dan pangan saja seringkali tidak mampu.
Kesulitan ekonomi tersebut secara langsung atau tidak langsung juga akan membawa serangkaian imbas bagi anak. Banyak orangtua yang kemudian lebih banyak mencurahkan waktu dan perhatiannya untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi, sehingga anak kurang mendapatkan perhatian semestinya. Minimnya perhatian terhadap anak dewasa ini menjadi kecenderungan hampir sebagian besar keluarga di Indonesia, tidak saja keluarga kelas menengah ke bawah, tapi juga keluarga kelas atas. Bisa jadi, inilah salah satu sebab tingginya angka putus sekolah di Indonesia, yang secara absolut oleh Bank Dunia diprediksi mencapai hingga 4,5 juta anak setiap tahunnya.
Sementara di satu sisi kondisi ekonomi terpuruk, di sisi lain biaya pendidikan saat ini dirasakan cukup mahal, sehingga muncul adanya kecenderungan banyak orangtua memilih melakukan deschooling. Menyerahkan pendidikan anak-anaknya kepada komunitas, belajar dari pengalaman hidup sehari-hari dari masyarakat sekitarnya, atau malah membiarkan anak-anaknya mendidik diri sendiri di rumah atau di jalan. Bahkan akibat kesulitan ekonomi, akhirnya banyak anak usia dini memasuki dunia kerja. Ribuan anak ikut bekerja membanting tulang, hidup di jalanan kota-kota besar, menggantungkan hidup sebagai pedagang asongan, pengamen atau sekedar bermodal tangan kosong di perempatan jalan. Kehidupan sosial yang keras mau tak mau telah mempercepat proses pendewasaan mereka.
Pun akhir-akhir ini jumlah anak-anak yang terlantar pendidikannya kian bertambah sebagai akibat maraknya penggusuran yang terjadi di berbagai kota, korban bencana alam, ataupun karena kerusuhan akibat konflik di berbagai daerah seperti Aceh, Ambon, Sampit, Poso dan sebagainya yang semakin menambah deretan panjang jumlah anak yang tergusur dan terampas masa depannya.
Jutaan anak putus sekolah selama ini tidak banyak terperhatikan, sebagaimana pendidikan itu sendiri yang juga tidak pernah benar-benar menjadi prioritas dan selalu dikesampingkan dalam wacana politik bangsa ini. Kalah menarik dibandingkan gemerlap dunia politik, dengan hingar-bingar perebutan kursi kekuasaannya. Seringkali pendidikan tidak lebih hanya sebagai alat dalam memenuhi agenda politik dan kepentingan tertentu. Pendidikan tidak diarahkan sebagai rekayasa budaya, tetapi diarahkan sebagai bagian dari proses pemenangan ideologi politik. Bagaimanapun, jutaan anak tersebut adalah juga anak-anak Indonesia. Sudah selayaknya banyak pihak memikirkan dan mempertimbangkan masa depan mereka, agar mereka tidak begitu saja hilang di telan jaman, menjadi generasi yang hilang.
Pendidikan merupakan salah satu sarana yang dapat membekali mereka untuk mampu bertahan dalam dunia yang kompetitif dewasa ini. Di dalam konstitusi negara disebutkan bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran, pun pemerintah telah mencanangkan wajib belajar 9 tahun. Itu artinya, bahwa siapapun anak usia sekolah, entah kaya atau melarat dan dimanapun berada, entah di kota, daerah pinggiran, desa atau daerah terpencil sekalipun, selama masih di wilayah teritori Indonesia memperoleh perlakuan dan kesempatan yang sama untuk mengakses pendidikan, atas tanggungan negara dan masyarakat. Jika konsisten dengan konstitusi tersebut, maka mestinya tidak akan ada jutaan anak-anak yang terlantar pendidikannya. Kemiskinan, penggusuran, kerusuhan dan konflik tidak seharusnya merampas masa depan jutaan anak-anak tersebut.
Di tengah situasi seperti saat sekarang, pendidikan yang berpihak pada yang lemah mesti dikedepankan. Konsekuensinya, pemerintah dan masyarakat bersungguh-sungguh memperhatikan pendidikan di negeri ini, termasuk dengan mengalokasikan anggaran pendidikan yang memadai. Pendidikan sebagai kunci pengembangan kualitas sumber daya manusia sudah selayaknya mendapatkan perhatian yang serius. Sebab jika tidak, bangsa ini ibarat tinggal menunggu waktu kapan negara ini jatuh terpuruk, menjadi bangsa terbelakang yang tidak mampu berbicara dalam percaturan kancah dunia global. Selain itu, tanpa disadari dengan minimnya anggaran yang dialokasikan untuk sektor pendidikan, sebenarnya ibarat menanam bom waktu. Banyaknya angka putus sekolah secara langsung ataupun tidak langsung akan menyumbang bagi terciptanya kerawanan sosial. Rendahnya penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, toleransi yang tinggi terhadap kejahatan kiranya lebih mahal taruhannya dibandingkan dengan anggaran yang dikeluarkan untuk sektor pendidikan.
Sudah saatnya menumbuhkan apresiasi dan partisipasi masyarakat terhadap pendidikan. Sentralisasi pendidikan yang berlangsung selama ini cenderung membatasi masyarakat dalam kungkungan paradigma yang sempit. Pendidikan, masih belum dipahami sebagai tanggung jawab bersama, melainkan hanya sebagai tanggung jawab pemerintah. Masyarakat belum secara optimal turut ambil bagian dalam pendidikan, partisipasi masyarakat masih sebatas pendanaan, keterlibatan belum sampai pada tataran pengambilan keputusan, evaluasi, dan akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan.
Bagaimanapun pendidikan harus diupayakan agar dapat diakses masyarakat secara luas, dan terutama masyarakat yang kurang beruntung. Munculnya pendidikan alternatif yang mulai berkembang di tengah-tengah masyarakat, terutama pendidikan bagi masyarakat yang terpinggirkan, yang diselenggarakan oleh berbagai pihak dalam beberapa waktu terakhir patut mendapat dukungan bersama. Dengan adanya pendidikan alternatif demikian akan memperluas akses terhadap pendidikan, terutama bagi mereka yang sulit terjangkau pendidikan formal, baik karena alasan demografi yang terpencil, kemiskinan, penggusuran, maupun sebab ketidakberdayaan sebagai akibat bencana alam, konflik atau kerusuhan. Dengan demikian, akan semakin banyak anak-anak kurang beruntung yang dapat mengakses pendidikan, sehingga mereka juga memperoleh kesempatan membekali diri dengan pendidikan. Tidak hanya sekedar menjadi penonton dan obyek pembangunan yang terpinggirkan.@

Pendidikan, Untuk Siapa?

Sampai saat sekarang pendidikan masih diyakini sebagai salah satu kunci pengembangan kualitas sumber daya manusia. Namun demikian, sebagian besar masyarakat terancam tidak dapat mengakses pendidikan, karena biayanya yang mahal. Bayangkan saja, Pendidikan untuk balita seperti play group, pra-TK dan TK uang masuknya jutaan rupiah. Uang SPP di SD mencapai ratusan ribu per bulan. Pun biaya pendidikan di sekolah menengah, apalagi di Perguruan Tinggi. ITB malah membuka jalur penerimaan mahasiswa baru khusus dengan syarat pembayaran 45 juta untuk tiap calon mahasiswa. Bahkan Departemen Teknik Fisika ITB menyediakan 10 bangku untuk mahasiswa baru dengan harga 25.000 dolar AS perbangkunya (Kompas, 8/5/2003).
Biaya pendidikan yang semakin mahal tidak lepas dari rendahnya anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk sektor pendidikan. Rasio anggaran pendidikan di Indonesia terus mengalami penurunan sejak tahun 1981 hingga sekarang. Dalam APBN 2001 pemerintah hanya mengalokasikan 4,4 % dari total APBN atau sekitar Rp 9,707 triliun. Sedangkan RAPBN 2002, meski terdapat kenaikan menjadi Rp 11,552 triliun, namun tetap tidak signifikan dibandingkan dengan sektor yang lainnya. Dan meskipun pasal 31 UUD 1945 yang telah diamandemen mensyaratkan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN. Dalam kenyataannya anggaran sektor pendidikan dalam RAPBN 2003 hanya Rp 13,6 triliun atau sekitar 4,15 % dari APBN, masih kalah dibanding anggaran untuk bidang pertahanan dan keamanan, yaitu 7,5 % atau sekitar Rp 24,7 triliun.
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa perhatian pemerintah terhadap pendidikan masih sangat kurang. Betapa pendidikan tidak dianggap sebagai kekuatan dasar dari pembangunan bangsa. Pendidikan tidak dipandang sebagai investasi jangka panjang dan aset masa depan. Minimnya dana pendidikan yang dianggarkan pemerintah menyebabkan lembaga pendidikan harus berupaya untuk mencukupi biaya operasional penyelenggaraan pendidikannya, dan hal itu paling gampang dilakukan dengan menaikan biaya pendidikan. Akhirnya yang menanggung bebannya adalah masyarakat, sehingga semakin banyak masyarakat yang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan dasar di bidang pendidikan.
Komersialisasi pendidikan yang berkembang dewasa ini juga berdampak pada mahalnya biaya pendidikan. Lembaga Pendidikan cenderung beralih fungsi menjadi lembaga bisnis. Meskipun hal itu sebenarnya juga tidak terlepas dari tuntutan otonomi pendidikan, dimana lembaga pendidikan dituntut untuk mengatur dan mengelola lembaganya secara mandiri termasuk dalam hal anggaran pendidikan. Peralihan status PTN menjadi Badan Hukum Milik Negara, dan menjamurnya perguruan tinggi yang hanya bertujuan mendapatkan mahasiswa sebanyak-banyaknya tanpa ditopang dengan kualitas dan fasilitas pendukung proses pendidikan yang memadai adalah beberapa yang bisa dicontohkan sebagai penyebab mahalnya pendidikan.
Di sisi lain, budaya materialisme dan konsumerisme yang berkembang dalam masyarakat telah menempatkan penghargaan terhadap pendidikan pada titik yang rendah. Pendidikan dianggap tidak lebih sebagai product untuk menaikkan gengsi. Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin tinggi gengsinya, tanpa menghitung kualitasnya. Berbagai upaya dilakukan agar dapat diterima di lembaga pendidikan yang dianggap bisa menaikkan gengsi, termasuk dengan cara membayar mahal uang sekolah. Pada titik inilah terjadi kompromi antara lembaga pendidikan dan orangtua. Akhirnya yang berduitlah yang mampu mengenyam pendidikan, meski dari sisi akademis tidak mampu. Sebaliknya anak didik yang memiliki kemampuan akademis baik, karena secara ekonomis tidak mampu maka ia tidak dapat memperoleh pendidikan yang baik.
Biaya pendidikan yang semakin mahal dan tidak terjangkau akan berimplikasi pada banyaknya angka putus sekolah. Data Balitbang Depdiknas menunjukkan bahwa sekitar 29,8% siswa SD tidak menyelesaikan sekolah, di tingkat SLTP 14,8% dan SMU sekitar 13,4%. Tahun 2000 saja, sedikitnya 7,2 juta anak di seluruh Indonesia tidak mampu merasakan bangku sekolah, baik di jenjang SD, SLTP dan SLTA. Ada kecenderungan karena biaya pendidikan sangat mahal orangtua yang secara ekonomi lemah terpaksa melakukan deschooling, menyerahkan pendidikan kepada komunitas, belajar dari pengalaman hidup sehari-hari dari masyarakat sekitarnya. Kesulitan ekonomi telah memaksa orangtua bekerja keras sepanjang hari dan membiarkan anaknya mendidik diri sendiri di rumah atau di jalan. Bahkan tidak sedikit anak usia dini yang memasuki dunia kerja.
Meskipun dalam konstitusi negara disebutkan bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran, pun pemerintah telah mencanangkan wajib belajar 9 tahun, namun masih banyak masyarakat yang tidak dapat mengeyam pendidikan. Kemiskinan telah menyebabkan kemampuan mengakses pendidikan terputus. Dalam situasi demikian, pendidikan yang berpihak pada rakyat kecil mesti dikedepankan. Pendidikan bukan hanya monopoli kalangan berduit saja, kalangan bawahpun berhak mendapatkan pendidikan yang layak.
Melihat realitas pendidikan yang semakin mahal dan tidak terjangkau oleh sebagaian besar masyarakat, kiranya perlu mendesakkan kepada pemerintah untuk mengedepankan sektor pendidikan sebagai prioritas dalam pembangunan. Perhatian pemerintah harus diwujudkan dengan menaikkan anggaran pendidikan, minimal seperti yang diamanatkan dalam pasal 31 amandemen UUD 1945, yaitu 20% dari APBN. Sudah saatnya pendidikan sebagai kunci pengembangan kualitas sumber daya manusia mendapatkan perhatian yang serius. Sebab jika tidak, bangsa ini tidak akan mampu bersaing dalam kancah percaturan dunia global yang kompetitif. Selain itu, tanpa disadari dengan minimnya anggaran yang dialokasikan untuk sektor pendidikan, pemerintah telah menanam bom waktu. Banyaknya angka putus sekolah secara langsung ataupun tidak langsung akan menyumbang bagi terciptanya kerawanan sosial. Rendahnya penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, toleransi yang tinggi terhadap kejahatan kiranya lebih mahal taruhannya dibandingkan anggaran yang dikeluarkan pemerintah untuk pendidikan.
Selain itu, kiranya perlu merumuskan kembali orientasi pendidikan. Pendidikan terutama pendidikan dasar dan menengah harus mengarah pada keterbentukan karakter pribadi peserta didik. Dengan bekal karakter pribadi yang kuat, memiliki sikap kemandirian, kepercayaan terhadap kemampuan sendiri, dan menjunjung nilai-nilai kemanusiaan peserta didik akan sanggup survival dalam persaingan global. Mereka akan sanggup menciptakan peluang kerja alternatif dan akan terus belajar dengan caranya sendiri, meski tidak lewat pendidikan formal.@

Membaca Kekerasan dalam Praksis Pendidikan Kita

Kekerasan dewasa ini hampir menghinggapi seluruh segi kehidupan. Multi krisis yang tengah dialami negeri ini, telah banyak melahirkan kekerasan. Pun kekerasan tak luput hadir dan turut mewarnai dunia pendidikan kita. Tawuran antar pelajar hampir setiap kali terjadi dan terus berulang dari tahun ke tahun. Tidak jarang kita pun mendengar berita guru melakukan kekerasan terhadap anak muridnya. Dan yang membuat miris, kekerasan tersebut tidak hanya menyebabkan luka, tapi bahkan sampai ada yang merenggut nyawa.
Mungkin akan sedikit sulit untuk menerima kenyataan bahwa kekerasan hadir dan ikut mewarnai praksis pendidikan kita. Bagaimana mungkin pendidikan yang seharusnya melahirkan insan-insan humanis malah mencetak para pelaku tindak kekerasan? Pelajar dan mahasiswa yang notabene adalah produk dari institusi pendidikan, orang-orang yang berproses dan bergelut di dalam dunia pendidikan, mengapa dengan mudahnya melakukan aksi kekerasan? Sungguh merupakan hal yang ironis. Bagaimana mungkin mereka bertindak tanpa kejernihan pikiran dan perasaan, tapi sebaliknya cenderung emosional dan ngotot menganggap dirinya yang paling benar. Dimanakah sikap kritis, kedewasaan pola pikir yang mencirikan sebagai individu yang berproses dalam pendidikan? Tanpa berpikir panjang dan secara emosional melempari dan merusak fasilitas umum, mengeroyok, menggebuki bahkan sampai menghilangkan nyawa. Adakah ini tanda-tanda kegagalan proses pendidikan kita? Mengapa institusi pendidikan malah seringkali melahirkan tindak kekerasan?
Apa yang terjadi diatas bisa jadi mengindikasikan adanya gejala kemerosotan dan semakin rendahnya penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Dan apabila mau merunut dan merefleksikan kembali praksis pendidikan yang berlangsung selama ini, kiranya wajar jika hal tersebut terjadi. Mengapa? Karena seperti diungkapkan St. Kartono (2002;129), praksis pendidikan kita dari jenjang sekolah dasar sampai pendidikan tinggi menganut supremasi IQ alias pendewaan akal, sementara perasaan tidak pernah digarap secara formal strategis.
Kurikulum pendidikan kita yang begitu padat, tidak cukup memberikan ruang bagi pendidik dan peserta didik untuk lebih dalam menggali kemampuan, potensi, kebenaran dan keindahan serta sikap perilaku yang terbuka. Proses pendidikan menjadi tidak cukup bermakna. Pendidik dan peserta didik telah kehilangan kesempatan untuk mengolah pengalaman belajar, untuk memaknai proses pendidikan. Kondisi ini masih diperparah lagi dengan tuntutan orang tua kepada para peserta didik untuk mengikuti berbagai aktivitas diluar kegiatan belajar di sekolah, seperti les pelajaran atau kursus-kursus lain. Hal ini tanpa disadari telah menjauhkan peserta didik dari realitas kehidupan di sekitarnya. Mencerabut kesempatannya untuk bersosialisasi, yang memungkinkannya untuk lebih dekat mengenal dan mengembangkan sisi kemanusiaannya. Akibatnya, banyak peserta didik yang tidak semakin pandai atau cerdas. Namun sebaliknya, justru dengan semakin banyak dijejali berbagai macam les dan kursus, peserta didik akan kehilangan martabat kemanusiaannya dan tidak humanis.
Proses pendidikan yang berlangsung selama ini cenderung lebih menekankan pada pengembangan sisi kognitif belaka dan mengesampingkan pengembangan sisi afektif dan sisi-sisi kemanusiaan peserta didik. Hati dan rasa sebagai penyeimbang akal pikir, jarang sekali mendapatkan pengasahan dalam proses pendidikan. Demikian juga dengan kepekaan sosial atau kepedulian terhadap sesama, tidak pernah terlatih dengan baik karena tidak pernah dihadirkan dalam praksis pendidikan. Kalau proses pendidikan mengasingkan peserta didik dari realitas kemanusiaannya, maka yang terjadi mereka pun akan tumbuh dengan mengabaikan penghargaan terhadap sesamanya sebagai manusia. Sehingga tidak mengherankan apabila terjadi tindak-tindak kekerasan seperti pengroyokan, pemukulan dan tindak anarkis lainnya, yang dilakukan pelajar atau mahasiswa karena mereka jarang sekali berbicara dengan hati atau perasaan, tidak mengasah kepekaan sosial dan kurang bersentuhan dengan realitas sosial mereka.
Selain itu, seperti diungkapkan Prof. Kurt Singer seorang ahli pedagogi dari Jerman, bahwa sekolah bukan lagi tempat yang nyaman bagi anak-anak. Sistem pendidikan sekolah mau tak mau menjadikan guru sebagai agen yang mengawasi, menindas dan merendahkan martabat siswa. Sekolah menjadi lingkungan penuh sensor yang mematikan bakat dan gairah anak untuk belajar. Pekerjaan dan kewajiban sekolah menjadi diktator yang memusnahkan kemampuan anak untuk belajar menjadi dirinya. Sekolah bukan lagi tempat untuk belajar melainkan tempat untuk mengadili dan diadili. (Sindhunata, Majalah Basis hal. 3 edisi Januari-Februari 2001). Tanpa disadari sekolah telah menjadi tempat bagi berlangsungnya penindasan terselubung. Banyak kekerasan terselubung yang seringkali terjadi di sekolah tanpa disadari. Akibatnya, sebagai pelampiasan dari ketertekanan ini, ketika siswa berada di luar sekolah mereka melakukan tindak kekerasan dengan tawuran, pengrusakan fasilitas umum dan lain sebagainya. Meluapkan kefrustasian mereka dengan berbagai tindak destruktif .
Melihat kecenderungan diatas dan juga kecenderungan yang terjadi dalam masyarakat kita, dimana penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan begitu merosot. Baik kiranya untuk mulai membenahi semua itu dengan mengoreksi dari praksis pendidikan yang tengah berlangsung selama ini. Pendidikan mau tidak mau harus menyertakan dimensi kemanusiaan dalam praksisnya.
Menurut Mardiatmadja (1986), ada tiga prinsip yang dapat disumbangkan oleh humaniora, khususnya dalam kaitannya dengan praksis pendidikan. (1) Dalam proses pendidikan, pengembangan pikiran dan hati harus berjalan bersama. (2) Peserta didik harus diberi kesempatan untuk berkenalan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal dan abadi. (3) Dalam pendidikan harus ada kerjasama erat antara pendidik dan peserta didik serta antara teori dan praktek.
Apabila ketiga prinsip diatas di pegang dalam setiap praksis pendidikan, maka niscaya pendidikan akan sungguh dapat memanusiakan manusia yang berproses di dalamnya. Karena menghadirkan dimensi kemanusiaan dalam praksis pendidikan berarti menuntut interaksi pendidikan yang menempatkan pendidik dan peserta didik sebagai manusia dengan keseluruhan pribadinya yang utuh.
Agar dimensi kemanusiaan tetap dikedepankan dalam praksis pendidikan, kurikulun harus menyajikan materi yang memungkinkan bagi tumbuhnya sikap kritis peserta didik. Karena hanya dengan sikap kritis, pendidikan akan memberikan kemungkinan bagi peserta didik untuk memiliki kemampuan berpikir. Dengan kemampuan berpikir yang menyertakan daya kritis, maka pribadi yang belajar dapat terus-menerus mempermasalahkan pendapatnya sendiri dan membuat reinterprestasi atas dunianya. Sehingga dapat mengaktualisasikan dirinya secara utuh. Dengan demikian, akan terbuka ruang dialog yang merupakan bentuk perjumpaan antar sesama manusia. Banyak peristiwa kekerasan sebenarnya terjadi karena tiadanya ruang dialog semacam ini. Tiadanya komunikasi dan kurangnya pemahaman dan penghargaan terhadap kerangka berpikir orang lain yang berbeda, telah mengakibatkan pertentangan, pertumpahan darah dan bahkan hilangnya nyawa.
Pendidikan harus dapat mengembangkan peserta didik secara integral, yaitu seluruh sisi kemanusiaannya secara utuh. Dan ini hanya mungkin tercapai jika pendidikan bukan hanya memfokuskan diri pada sisi intelektual saja, tapi juga secara bersamaan mengolah sisi emosional, sosial dan spiritual dengan berimbang. Ada keseimbangan antara teori dan praksis yang terintegrasi dalam kehidupan peserta didik secara nyata. Tanpa itu semua, maka pendidikan akan timpang, tidak akan pernah menemukan makna yang sesungguhnya. Dan seharusnya kekerasan yang telah cukup berakar kuat dalam budaya masyarakat kita dapat dikikis dari praksis pendidikan yang menghadirkan dimensi kemanusiaan didalamnya. Semoga!@

20 Januari 2008

Who says being a teacher is easy

Yogyakarta (Kompas: 04/12/06) Many consider teacher is a second-class profession. Not many people want to be a teacher unless they do not have any other choice or being jobless. There is an impression that any university graduate could be a teacher if the person wants to. The work is easy: going to work in the morning, teaching and come home in the afternoon.
Being a teacher is considered as an easy work. Many people forget that teacher play an important role in education process. Even though a teacher is not the sole factor that determine the success of education; yet, teacher is still the main hub in education process. Without teachers, education process will limp.
The introduction of Teachers and Lecturers Law has brought fresh air for teacher’s profession. The law will become a legal umbrella; it is also represent the government’s recognition for teachers’ profession. The law will hopefully nurture appreciation for teachers; and teachers’ profession could hopefully be in line with other professions, and it could encourage teachers’ quality development, and eventually boosts the education quality improvement in the country.
At least, the introduction of the Law on Teachers and Lecturers makes teachers’ profession becomes more attractive, especially as the law promises a better welfare in the form of monthly allowance amounting one month salary and functional allowance. However, the Law on Teachers and Lecturers also brings some quite difficult consequences for teachers. One the one hand, this law promises welfare for teachers; on the other hand, it also demands many requirements from teachers.
Before enjoying the monthly allowance whose amount is equal to a monthly salary and functional allowance totaling Rp 500.000 per month, a teacher has to meet several requirements: academic qualification of S1 or D-IV, holding education certificate acquired through professional training and a series of competency tests. Those requirements seemed normal; it is like wise for requirements of other profession. However it is different when we are talking about teachers’ profession in this country. Related to the current condition of teachers in the country, those requirements are quite big challenges.
1.8 million out of 2.7 million teachers in this country has not met the academic qualification of S1 degree. In the secondary school level, it is not so bad; 62.08 % of secondary school teachers hold S1 degree. However, in basic education level, mainly elementary school, the situation is much worse. Only 8.3 percent out of 1.3 million elementary school teachers have met the S1 qualification. The government’s program to make elementary school teachers hold the D2 have took over ten years and the result was only 40%. Most elementary school teachers only hold D-1 degree or less.
In order to meet the academic requirement of S1 some 1.8 million teachers have to go back to school; while the Law on Teachers and Lecturers only gave up to 10 years to fulfill the requirement. Is it feasible? Where do the funds come from? Will the government manage to cover the expenses?
If teachers have to pay for their education, it seems difficult to realize due to their current living condition. Moreover, we should take into consideration the limitations of Teachers’ Training Institute (LPTK) to accommodate teachers who want to pursue higher education to obtain the S1 degree. It is almost certain that many teachers would not be able to catch up. Which means in 10 years from now there would be many teachers who has not meet the S-1 qualification. Such a situation will create a tight competition among teachers. Teachers have to compete against each other if they want to survive being a teacher.
If the S1 qualification has been fulfilled, dopes it means that the problem is over? Actually the S1 academic requirement is not enough, teachers have to attend education certificate. How difficult it is for teachers only to get an extra income of professional allowance amounting one month basic salary and functional allowance of Rp 500,000. So, who said being a teacher is easy?
We should bear in mind, holding S1 academic qualification, holding education certificate, or passing competency tests do not guarantee that a teachers is of a good quality and is qualified to become a professional teacher….not to mention if those requirements have been fulfilled using short cut or just formalities.
The S1 academic qualification was only a formal legal requirement that a teacher must fulfill. In reality, teachers’ quality depend on their professionalism and their devotion towards the profession, when they are in front of the classrooms with their students and serving them. Teaching and educating, humanizing young human beings. This is far more difficult to fulfill and it becomes a never-ending challenges for a teacher.
The dynamics of education in Indonesia is very instable; it requires teachers to be more flexible, adaptive and able to move fast. Education curriculum that could change anytime is an example to illustrate this situation. It is likewise with the national examination, which is never clear at the beginning of a new academic year, maybe it will be organized or maybe not, with the criteria and standards that change all the time and we only know exactly only a few months before the examination. Facing such a situation, where teachers often become an object of education policies, it needs endurance, patience, adaptation, and it is not an easy task.
Many requirements
Teachers are always asked to catch up with the development. The development also requires teachers to adapt in the education process. Previously, teachers’ role was emphasized on the creation of vision, knowledge and skills needed in this industrial era, teachers role now has to be the learning facilitator which has become requirement in this age of information
Those changes do not make teachers’ tasks and responsibilities become easier because teachers still have the responsibility in creating knowledge, skills and stances from the ongoing learning process, and responsibility to participate in the effort to achieve the objective of education as a whole.
Consequently, teachers have to understand the characteristic and the teaching materials, mastering the concept, understanding the methodology of his/her subject, understanding the context of the subject and its relation with the society, environment and other sciences. Moreover, teachers are also required to know their students’ personality better. Therefore, teachers should be familiar with personal approach, mastering psychology and children development, mastering theories of pedagogy, mastering and capable of developing teaching models.
This requires teachers’ quality and competency improvement, through perpetual self rejuvenation according to the requirement of the development. Moreover, teachers should love their profession. Love is the key for teachers to become professional. Like a boy, in love to a girl, he would be willing to anything for her. If a teacher love his/her profession, love his/her students, no matter how difficult the challenges he is facing — more over it is only low salary and reduced allowance — it would not stop teachers from continuing to humanize young human beings.
In order to love their profession, teachers should look back, thinking why they would become teachers in the first place; purifying the motivation to become teachers. Eradicating all obligation for the past and changes them with the clarity of new vision and mission. Choosing to be a teacher is a moral responsibility, and at the same time a social responsibility which is much more important than being forced to. And, we have to admit, this is not an easy task. It needs a long process.
So, who says being a teacher is easy! Indonesia, appreciate your teachers! That’s the only way to develop education in the country.
HJ Sriyanto, Teacher of De Britto High School Colege in Yogyakarta

08 Januari 2008

Jangan Ada Bohong Di Sekolah Kita

Dari Sumatra Utara kebenaran itu telah disuarakan untuk dunia pendidikan Indonesia. Salut atas apa yang sudah dibuat oleh para guru dari Komunitas Air Mata Guru, yang sudah berani membongkar kecurangan dalam praktik pendidikan kita. Pun sekaligus turut prihatin atas apa yang menimpa mereka. Karena keberanian mereka mengungkap kecurangan ujian nasional (UN), mereka harus mendapatkan sanksi. Mulai dari dikurangi jam mengajarnya hingga tidak diberi jam mengajar sama sekali, bahkan ada yang dirumahkan, disingkirkan dari sekolah tempat mereka bekerja. Sungguh sebuah ironi, orang yang berkata dan berbuat benar malah diberi sanksi, sementara yang berbuat salah malah dipuji. Tapi itulah sebagian dari realitas dunia pendidikan kita.
Sebagai seorang pendidik sejujurnya saya agak takut tidak akan mempunyai jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan para murid berkait dengan hal tersebut. Bagaimana mungkin kecurangan malah bersarang di institusi sekolah yang notabene tempat dimana nilai-nilai keutamaan disemaikan? Kok, orang yang jujur dan berani mengungkapkan kebenaran malah dibungkam dan disingkirkan? Lebih takut lagi, apa yang saya dan juga banyak guru lain sampaikan di kelas tentang kejujuran, kebenaran, tanggung jawab dan berbagai nilai keutamaan yang lain tak lagi digubris oleh murid-murid, ketika apa yang mereka lihat dan saksikan sehari-hari adalah praktik-praktik yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur kehidupan itu. Mungkin kita maklum, hal yang sudah lumrah jika perilaku semacam itu terjadi di pentas politik. Tapi jika kecurangan itu juga terjadi dan merambahi dunia pendidikan, maka sesungguhnya ada banyak hal yang dipertaruhkan di sana.
Saya meyakini sebuah kebohongan akan selalu melahirkan kebohongan-kebohongan baru lainnya. Hanya soal menunggu waktu saja. Jika kita tahu mana yang benar dan mana yang salah, tapi secara sadar sepakat memilih yang salah dan mengabaikan yang benar, maka sebenarnya kita hanya tinggal menunggu kapan ‘malapetaka’ itu akan menimpa. Dan sayangnya, mungkin ‘malapetaka’ itu tidak menimpa para pelakunya, tapi akan menyebabkan penderitaan bagi banyak orang lain, yang bisa jadi mereka tidak tahu apa-apa. Mereka inilah yang disebut korban atau yang dikorbankan.
Kalau kita mau merunut ke belakang, sebenarnya ujian nasional (UN) sudah seringkali ditunjukkan lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Tapi toh tetap dipilih untuk dilaksanakan, dengan berbagai dalih dan alasan yang dibungkus rasionalisasi intelektualitas tingkat tinggi tapi tidak jujur dengan realitas senyatanya. Demi peningkatan mutu pendidikan, sebagai pemicu dan pemacu anak agar bekerja keras, UN di gelar di seluruh pelosok negeri. Tapi siapa yang berani menjamin dengan UN mutu pendidikan kita menjadi lebih baik? Siapa bilang UN memacu anak murid kita belajar bagaimana bekerja keras?
Realitas yang terjadi bukannya bekerja keras, tapi mencari jalan pintas dengan melakukan berbagai kecurangan. Dan jangan kaget jika yang melakukan kecurangan itu mulai dari siswa, guru, pengawas, kepala sekolah, hingga dinas pendidikan. Mengapa? Karena UN telah menjadi tujuan proses persekolahan. Gagal UN berarti kegagalan proses pendidikan. Oleh karena itu diusahakan bagaimana caranya agar sedikit mungkin siswa yang tidak lulus UN, termasuk dengan berbuat curang. Sungguh tragis mempertaruhan kejujuran demi nilai 4,25 di atas selembar kertas ijazah. Inilah salah satu bukti, jika kita melakukan sebuah pilihan yang salah, biasanya kita akan cenderung melakukan atau membuat kesalahan baru yang lain.
Itu baru yang tampak dipermukaan. Kalau kita mau masuk lebih dalam lagi ke sekolah-sekolah kita, maka kita akan menjumpai bagaimana kebenaran itu seringkali diingkari, bagaimana kejujuran mulai menjadi barang langka. Kenaikan kelas sekarang tampaknya juga mulai setali tiga uang dengan kelulusan UN. Demi kenaikan kelas tidak jarang aturan kenaikan kelas yang sudah dibuat dan disosialisasikan kepada para murid dan orangtua siswa dengan mudahnya diubah. Atau jangan kaget, jika tiba-tiba pada akhir tahun ajaran guru berubah profesi menjadi “pesulap-pesulap” yang dengan mudahnya bisa mengubah nilai, agar siswa naik kelas. Tidak sedikit siswa yang terbengong-bengong tidak mengerti melihat hasil sulapan tingkat tinggi itu, melihat temannya atau dirinya sendiri naik kelas. Padahal dari hitung-hitungan nilai ulangan harian, tagihan-tagihan dan nilai ulangan umum yang diperoleh mestinya tidak naik tapi ternyata siswa itu tetap naik kelas.
Pun dalam proses keseharian, praktik ketidakjujuran dibiarkan merajalela di ruang-ruang kelas ketika ulangan berlangsung. Maka jangan heran, jika sekarang sulit ditemukan murid yang lebih memilih belajar daripada main game atau kongkow di mall. Tidak merasa cemas meski jarang belajar, karena apapun hasil belajarnya mereka pasti akan naik kelas atau lulus sekolah. Sekolah rasanya telah kehilangan arti-maknanya. Maka juga tidak perlu heran, jika ke depan nanti negara ini akan terus menonjol dan menjadi juara dalam hal korupsi.
Inilah yang terjadi jika kita terlalu silau dan memuja prestasi artifisial. Lebih memilih angka-angka statistik yang tinggi dari hasil manipulasi demi memperoleh predikat berhasil, tapi mengabaikan kejujuran dan kebenaran. Beginilah jadinya jika institusi pendidikan lebih memilih menggadaikan nilai-nilai keutamaan seperti kejujuran, tanggung jawab, kebenaran dan menggantikannya dengan angka-angka tinggi di raport atau ijazah. Hal ini juga terjadi sebagai konsekuensi atas pilihan kebijakan pendidikan kita yang lebih mengedepankan hasil daripada proses. Akibat dari praktik pendidikan yang mendewakan pengetahuan kognitif, tapi abai dengan pembentukan karakter pribadi siswa.
Selama ini tanpa disadari usaha pendidikan kita seringkali berlangsung secara otomatis, tidak mempedulikan sasaran-sasaran serta tujuan-tujuannya yang sejati. Murid yang semestinya menjadi pusat perhatian dalam proses pendidikan seringkali diabaikan sebagai faktor utama dalam pemikiran tentang pendidikan maupun kebijakan-kebijakan pendidikan. Menurut Leo Tolstoy, kegagalan dalam mengenali fakta pokok ini menyuburkan penyimpangan-penyimpangan dan kesalahan konsep yang menjamin kegagalan pendidikan: ketergantungan murid, ketidaksenangan murid untuk belajar, dan akhirnya kepicikan dalam ‘produk’ pendidikan.
Rasanya kita perlu untuk mengajukan kembali pertanyaan: untuk apakah proses pendidikan diberlangsungkan? Misi pendidikan adalah mewariskan ilmu dari generasi ke generasi selanjutnya. Ilmu yang dimaksud antara lain: pengetahuan, tradisi, dan nilai-nilai budaya (keberadaban). Diharapkan dengan pendidikan tersebut akan menjadikan generasi yang lebih baik dan beradab. Pendidikan menjadi jalan membebaskan kemanusiaan, untuk memanusiakan manusia.
Sayangnya, maksud dan tujuan pendidikan seperti ini seringkali kandas oleh karena kebijakan pemerintah yang lebih bersifat politis ketimbang keinginan dan niat untuk mewujudkan misi pendidikan yang sesungguhnya. Namun begitu, harapan akan pendidikan yang lebih baik, pendidikan yang jujur dan benar, pendidikan yang menghargai nilai-nilai kemanusian mesti terus dihidupkan. Kita bersyukur masih ada orang-orang yang berani berkata jujur di negeri ini. Orang-orang muda dari kelompok air mata guru sudah memulainya dengan menyuarakan kebenaran, meski untuk itu mereka harus dipinggirkan dan disingkirkan. Moga-moga apa yang mereka lakukan mengingatkan dan menginspirasi kita untuk mulai belajar jujur. Moga-moga dengan berani jujur, kita para guru nantinya tidak perlu lagi mencari-cari jawaban atas celetuk tanya seorang murid, “Sekolah kok bohong?!”@

Monolog Seorang Guru

Alkisah, seorang guru tengah dirundung gelisah. Bukanbermaksud mau menyaingi Pak Butet yang Kertaradjasaitu, kalau dia kemudian bermonolog. Sebab memang diatidak tahu lagi mau ngobrol sama siapa. Kasihanmemang, guru yang kesepian dalam kejenuhan dankelelahan.“Entahlah, akhir-akhir ini aku merasa tengah beradadalam labirin krisis!” begitu guru itu memulaimonolognya. Sebagai kalimat pembuka lumayan juga, agaknyastra sedikit. “Kurasakan semangat yang mulaimengendur, seperti tetek nenek-nenek” Eit! Awas PakGuru, jangan porno! Bisa-bisa dicekal, sekarang kanbaru pada ribut soal pornoaksi dan pornografi! Guruitu tersenyum kecut, lalu melanjutkan, “Aku merasamulai kehilangan spirit, roh yang menggerakan ituseolah pergi begitu saja meninggalkanku. Entahlah, akumerasa sangat lelah!” Sejenak dia diam, menarik nafaspanjang. Gayanya memang sudah kayak aktor beneransaja!“Situasi demikian, sungguh sangat kontras sekalidengan waktu awal-awal dulu ketika pertama kali akumenjadi guru. Semangat yang begitu tinggi, idealismeyang menyala-nyala, ataupun totalitas yang membaraseolah tidak mengenal kata lelah!” Ah, guru itutersenyum mengenang tahun-tahun awalnya mendidik. Tapisebentar kemudian wajahnya mulai mengerut dan masamlagi.“Ada apa dengan aku? Mengapa tiba-tiba saja aku merasasangat lelah! Semangat dan idealisme kurasakan mulaipudar dan tanggal satu-satu! Visi yang dulu tergambardengan jelas, kini mulai mengabur? Adakah akusendirian dengan perasaanku? Apakah guru lain jugamenyimpan perasaan yang sama? Ataukah ini sesuatu yangwajar, karena aku memang sedang berada pada fase ini?Fase kejenuhan dan kelelahan yang meradang yang mestiaku jalani?” Guru itu menggeleng-gelengkan kepalanya,lagaknya memang kayak aktor betulan!“Tapi kenapa ketika aku bertanya pada senior-seniorku,mereka pun tengah lelah dan jengah juga? Kalau inimerupakan satu fase, bukankah seharusnya mereka telahmelampauinya? Tapi yang kulihat merekapun tetap sajakelelahan! Dan ketika aku berkaca pada mereka, akumalah melihat wajah yang buram! Aku tak menemupencerahan atau sekedar insight dari kedalaman jiwamereka. Sebaliknya yang kulihat segalanya serba teknisbelaka yang kadang bercampur dengan apatis danskeptis? Ah, mereka memang sudah tua dan memang pantasuntuk tetap lelah!” Ah, jangan serius-serius Pak Gurunanti tensimu malah naik, awas bisa kena stroke!.“Apakah ini terjadi lantaran aku sudah merasa mapan?Ataukah malah karena ketidakmapananku yang diluarnorma sebab seharusnya aku sudah mapan tapi belum bisamapan?” Pak Guru, nggak usah sok berfilsafatlah! Nantijadi bingung sendiri lho! “Ya, mungkin salah satunyakarena itu, kemapanan! Aku sudah tidak lagi sepertiketika tahun-tahun awal menjadi guru. Dulu aku masihmembujang, belum punya tanggungan! Waktu itu aku tidakharus berpikir untuk memberi makan mulut lain selainmulutku sendiri! Gaji yang kuterima masih cukup untukmengisi perut selama satu bulan. Jadi, aku tidakterlalu memusingkan apakah yang kukerjakan ada duitnyaatau tidak! Aku bisa bekerja dari pagi hingga malam disekolah selama seminggu penuh, karena tidak jarangminggupun ada kegiatan di sekolah, tanpa memikirkanorang di rumah. Dan aku sungguh menikmati itu! Takmemusingkan, apakah akan dapat reward atau tidak daripimpinanku. Kulakukan banyak hal dengan murid-muridku,membuat hal-hal baru bersama mereka. Dan itu kurasakansunggung memperkembangkan diri mereka dan tentumengembangkan aku juga” “Heh! Jangan manggut-manggutkamu!” Ah, Pak Guru bisa saja!“Tapi kini, aku harus bertanggung jawab atas banyakperut! Perut istriku dan perut anak-anakku, selainperutku sendiri tentu saja! Dan gajiku sudah tidaklagi cukup! Jelas, sebab tanggungan bertambah tapigaji stagnan! Dan sebagai lelaki dan suami yangbertanggung jawab aku tidak mungkin membiarkanperut-perut itu kelaparan. Aku mulai berpikirrealistis. Mulailah aku ngobyek sana-sini, jualan bukupelajaran, kadang diundang untuk ngomong sembarangan,nyalo apapun aku lakoni, ngojekpun jadi! Semuakujalani demi asap dapur terus mengepul. Dan apa yangterjadi, semua orang ramai-ramai menudingku, aku sudahmerendahkan martabat guru! Ya, dengan ngobyek begitu,aku memang jadi sedikit melupakan diktat-diktatmengajar. Kadang nyolong-nyolong waktu juga untukmengerjakan pekerjaan lain dan berharap bisa sedikitmengisi pundi-pundi masa depan. Celengan untuk sekolahanak-anak kelak! Kalau tidak begitu, memang ada yangpeduli nasibku, nasib istri dan anak-anakku?!”“Aku tahu dengan begitu, sebenarnya pekerjaankumengajar dan mendidik menjadi tidak optimal. Beberapamalah terbengkelai. Sehingga beban kerja yang kalaudikerjakan biasa saja tanpa nyambi sana-sini sudahseabreg dan berat, jadi semakin menggunung. Membuatkusemakin malas dan merasa tidak betah lama-lama disekolah.””Konflik kepentingan dengan atasan atau kolegayang lain kadang juga tak terelekan. Aku tahu, merekasebenarnya juga ingin melakukan seperti apa yangkulakukan. Non sense, kalau mereka bilang tidak!Mereka pun butuh makan, butuh biaya sekolah untukanak-anaknya, butuh kontrak rumah, karena beli rumahbagi seorang guru, mimpi kaliii yee!” Wah, Pak Gurubisa ndagel juga! Pak guru kali ini tertawa.“Sorry, kalau aku nglantur! Bukan maksudku untukmembuat pembenaran diri atas labirin krisis yangmenyelubungi para guru. Intinya begini, aku merasaberbagai krisis yang dihadapi guru, seperti seolahkehilangan spirit, visi mendidik yang mengabur,idealisme yang mulai pudar itu karena gaji guru tidakmemadai sehingga guru terseret dalam pusaran krisisekonomi yang berkepanjangan. Beban guru yang seabregditambah sistem persekolahan yang menekan para gurumau tidak mau membuat guru terkurung dan terjebakdalam kerja teknis dan administratif dengan tingkatkejenuhan dan kelelahan yang tinggi, jauh darimenginspirasi apalagi mencerahkan! Dengan begitusebenarnya para guru itu semakin diposisikan sebagaisub ordinat yang lemah dan terpinggirkan.” Wah, wah…“Celakanya,” Pak Guru itu melanjutkan lagi. “Para guruitu tidak mempunyai ruang bersama, ruang untuk berbagiuntuk ngudari berbagai krisis yang menelikungnya. Parabirokratpun seolah nggak tahu atau memang benar-benartidak tahu dengan apa yang tengah dihadapi para guru,sehingga tidak tahu mau berbuat apa. Guru tidak punyajendela penyeimbang. Ibaratnya seperti rumah yangnggak memiliki jendela, pengap! Tidak ada tempat untukmenyalurkan ekspresi-ekspresi diri, sehingga bunegsendiri dengan berbagai permasalahan, entah masalah dirumah atau di sekolah yang menghimpitnya. Dan muridlahyang kemudian menjadi korbannya.” Mata Pak Gurumenerawang di kejauhan.“Belum lagi, kalau menetap ke depan. Tantangan guruyang semakin berat. Tengok saja undang-undang guruyang katanya mau melindungi para guru itu, kalaudicermati kan malah semakin menyulitkan guru. Maumenyejahterakan para guru, tapi tuntutannyamacem-macem! Lihat saja, undang-undang itu lebihbanyak mengatur tentang kewajiban guru daripada hakguru. Belum lagi soal sertifikasi guru, yangmensyaratkan guru harus menempuhkan pendidikan profesilagi. Gaji mau naik saja, repotnya nggak karuan.Kelihatannya loro-lopo guru selama ini belum cukupmeyakinkan pemerintah untuk menaikkan upah para guru.Kurikulum pun katanya mau diganti lagi. Padahalkurikulum yang kemarin saja belum beres! Dan kalaumenurut yang membuat kurikulum baru itu, nantinya kurikulum baru disusun dan dibuat oleh guru sendiri.Selalu begitu kan, ujung-ujungnya guru yang repot!” “Maaf, kalau aku selalu mengeluh! Aku tahu mengeluhsaja tidak akan pernah menyelesaikan persoalan. Danaku juga sadar tidak mungkin berharap pada perbaikansistem dalam waktu dekat ini, terlebih berhadap adaperbaikan nasib! Dan nggak lucu, kalau aku juga cumadiam menunggu dalam kepasrahan, dan tidak berbuatapa-apa!” Pak Guru tersenyum getir. Tiba-tiba saja dibenaknya berkelebatan bayanganmurid-muridnya yang bertekun olah rasa setiap sore dipinggir lapangan, kerumunan anak-anak yang begitubersemangat menempa diri dengan berbagai kegiatan sorehari, siswa kelas tiga yang methentheng belajar agarlolos ujian nasional. Bayangan yang berklebatan itumengantarnya masuk ke dalam dirinya sendiri.“Aku merindukan kalian, jiwa-jiwa muda! Apa yangselama ini sudah kulakukan? Untuk apa aku menjadi gurukalau aku sering mengabaikan mereka? Apakah adil kalauaku kelaparan, tapi aku membalaskannya denganmengabaikan mereka? Oh, jiwa-jiwa muda nanbersemangat, maafkan aku gurumu! Oh, spirit, rohpenggerak masukilah jiwa tua nan rapuh agar mampukembali berdiri tegak untuk bergerak-mengolah bersamadengan jiwa-jiwa muda nan bersemangat. Menjernihkankembali visi yang telah lama mengabur. Memantapkankembali panggilan diri sebagai guru, turut sertamembentuk dan mengembangkan kepenuhan manusia-manusiamuda.” Ah, Pak Guru bikin terharu saja.“Baiklah, gajiku mungkin memang tidak akan pernahcukup, tapi tidak seharusnya aku mengabaikanmurid-muridku. Aku harus menyiasati agar tetap bisabertahan, tapi mungkin tidak sampai harus mengorbankanmereka. Aku hanya perlu berpikir, membukasebanyak-banyaknya peluang untuk mengatasi masalahekonomi, tanpa juga harus merendahkan harga diri danmartabat seorang guru. Itu bukan perkara sulit sebabaku seorang guru!” Pak Guru kemudian bangkit danbergegas pergi. Lho, Pak Guru mau kemana? “Gawe jendela!” Aku tersenyum mendengar jawaban PakGuru. Ya, dia memang butuh jendela itu agar bisaberbagi dengan teman-teman seprofesinya. Berbagipergulatan hidupnya, berbagi visi-misinya menjadiguru, agar bisa saling menguatkan. Sehingga spiritsang guru, roh penggerak itu tetap selalu bersemayamdi jiwanya. Dan kalau Pak Guru sudah seperti itu, makatidak ada yang perlu dirisaukan lagi. Ancaman terbesarsesungguhnya bagi dunia pendidikan sudah berlalu.Bayangkan saja kalau para guru loyo, padahal merekaadalah orang-orang yang berada di barisan terdepandunia pendidikan. Bagaimanapun peran mereka tetaptidak pernah tergantikan. Boleh saja kurikulum sangatbagus, sarana prasarana sangat memadai, tapi kalaupara gurunya loyo, semua itu tak berarti apa-apa. Dan kalau Pak Guru sudah bergerak seperti itu, maka tantanganmasa depan seperti apapun tidak akan mampumengoyaknya. Sertifikasi atau ganti kurikulum seribukali bukan soal lagi. Sebab aku yakin, dengan spiritmenyala-nyala di dadanya, guru itu akan selalu menjadimanusia pembelajar yang selalu mengup-grade diri untukkemudian dibagi lagi dengan manusia-manusia muda yangakan selalu ada bersamanya. Aku bangga pernah menjadimuridmu, Pak Guru!

Mestikah Kita Menjual pendidikan?

Globalisasi telah mencairkan dunia. Sekat negara dan sekat geografis tak mampu lagi membendung serbuannya. Berbagai perubahan terjadi secara tidak teratur, tidak linier, tidak kontinu dan sulit diprediksi. Repotnya, ketika dunia bergerak dengan begitu cepatnya, kita sebagai bangsa seolah hanya jalan di tempat, masih saja terus bergulat dengan berbagai persoalan sendiri yang hingga kini juga tidak jelas penyelesaiannya. Dalam konteks pendidikan, ketika negara-negara lain sudah berpacu dengan gagasan-gagasan besar pendidikan dalam rangka menapaki globalisasi, pendidikan di Indonesia masih berkutat dengan gedung sekolah yang roboh, rendahnya anggaran pendidikan, biaya pendidikan yang mahal, dan tetek-bengek lain yang tidak jua kunjung berakhir.
Sekali membuka mata kita tergeragap, globalisasi telah menyergap di depan mata. Kitapun gagap menyikapinya. Dan tanpa berpikir panjang mengiyakan begitu saja pendidikan menjadi objek komoditas yang diperjual-belikan. Pendidikan dasar dan menengah, pendidikan tinggi, dan pendidikan non formal dibiarkan menjadi bidang usaha terbuka yang bisa dimasuki modal asing. Begitu mudahnya kita mengikuti kemauan global, tanpa melihat kemampuan lokal serta prinsip-prinsip kependidikan dalam konstitusi negara kita. Kita lupa bahwa pendidikan mengemban visi dan misi ideologi bangsa. Kita lupa bahwa pendidikan adalah kendaraan bagi bangsa ini demi mencapai cita-cita untuk apa negara ini diberlangsungkan. Nah, apa jadinya kalau kendaraan itu ‘disopiri’ bangsa lain, apalagi kalau kendaraan itu ‘dijual’ pada kekuatan modal asing?
Benar bahwa kita masih terseok dalam hal pembiayaan pendidikan. Meski konstitusi negara mensyaratkan anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN, toh realitasnya pemerintah belum mampu memenuhinya. Tapi dengan kondisi ini bukan berarti kita akan dengan mudahnya membiarkan pihak asing masuk menanamkan modalnya dalam sektor pendidikan. Benar bahwa tentu ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi ketika pihak asing menanamkan modalnya. Hanya saja dengan berkaca pada pengelolaan pendidikan selama ini kira-kira mampukah kita mengimbangi kekuatannya? Tanpa kesiapan sumber daya manusia yang baik dan kemampuan untuk mengimbanginya, keterlibatan modal asing dalam institusi pendidikan bisa berujung pada ‘penjajahan’ gaya baru. Penguasaan asing baik secara materi maupun nilai-nilai menjadi dominan. Pengalaman membuktikan, dalam banyak sektor kekuatan modal asing cenderung mengeruk keuntungan demi kepentingan mereka sendiri daripada untuk kemaslahatan rakyat banyak.
Pertanyaannya sekarang, mau apa kita dengan pendidikan kita? Bagaimanakah pendidikan mesti diposisikan dalam era globalisasi? Seperti apa pendidikan mesti mewujud dan diwujudkan? Pendidikan seperti apa yang akan menjadi ‘kereta’ bagi bangsa ini dalam mengarungi arus globalisasi? Itulah samodra besar pertanyaan yang mau tidak mau harus dicari jawabannya, agar bangsa ini tidak kerem di tengah lautan globalisasi, terpuruk ditengah kompetisi global.
Berkaitan dengan tata ekonomi berencana (planned economic order) yang antara lain dikembangkan di negara-negara Eropa Timur, tak ketinggalan juga di Indonesia, pendidikan seringkali diposisikan sebagai proses penanaman modal dalam bentuk manusia (human investment). Pendidikan dipandang sebagai wahana penyiapan peserta didik untuk memasuki sektor ekonomi produktif. Dengan demikian, perencanaan pendidikan diupayakan link and match dengan perencanaan ekonomi. Akibatnya, proses dan isi pendidikan dikendalikan secara serta merta oleh kebutuhan pasar kerja (Sudarman Danim, 2003). Karena alasan tersebut, maka tidak mengherankan jika pemerintah dengan mudahnya mengikuti kemauan global seperti terjadi saat sekarang, dimana modal asing dibiarkan memasuki sektor pendidikan kita.
John Dewey tegas-tegas menolak pandangan di atas. Menurutnya, tidak pada tempatnya mengaitkan tatanan perilaku kelembagaan pendidikan dengan kebutuhan pasar kerja. Sebab secara fungsional tujuan utama pendidikan adalah membentuk komunitas-komunitas sosial ideal sebagai bagian dari proses transformasi pendewasaan peserta didik, apapun bentuk dan seperti apapun ragam pendidikan itu dikemas.
Tapi masihkah relevan berbicara tentang komunitas sosial di era globalisasi? Bukankah tatanan ekonomi global berpotensi untuk mencerai-beraikan komunitas sosial, menjadikan manusia sebagai sosok-sosok individualis yang terpisah dari kawanan sosial tradisionalnya? Manusia dalam tatanan ekonomi global tereduksi sebagai pekerja yang terpisah-pisahkan satu sama lain atas dasar pekerjaan dan tempat kerja. Akibatnya ada kecenderungan seakan-akan mereka telah kehilangan jejak untuk merepresentasikan nilai-nilai kemanusiaannya. Kehidupan sosial masyarakat makin miskin interpretasi obyektif, daya sensibilitas sosialnya terus tereduksi.
Saya pikir di sinilah letak pentingnya kita merumuskan dan mendefinisikan kembali makna politis dan strategis pendidikan di era globalisasi ini. Apakah pendidikan hanya akan melulu sekedar memasok tenaga kerja bagi tatanan ekonomi global dan membiarkan mereka terlibas roda ekonomi global menjadi sosok individu yang teralienasi, dan tercerai-berai dari kawanan sosialnya? Atau jika tidak, peran apa yang bisa dimainkan pendidikan dalam tatanan ekonomi global? Masih mampukah pendidikan sebagai media pembebasan dan pemerdekaan kemanusiaan?
Pendidikan tetap mempunyai potensi membebaskan dan memerdekakan, demikian Paulo Freire. Menurutnya, pendidikan yang membebaskan merupakan jalan menuju pengetahuan dan pemikiran kritis. Bagaimanapun pengetahuan adalah dasar landasan tata ekonomi global yang baru. Globalisasi telah memperbesar arti penting pengetahuan, sifat kreatif dan inovatif, pemikiran kritis dan kemampuan memecahkan masalah. Kemajuan ekonomi di negeri manapun makin lama makin memerlukan basis yang luas berupa individu-individu yang sangat sadar, percaya diri, memiliki pemikiran kritis, mampu berpartisipasi, melek huruf, dan melek angka untuk berkompetensi dalam tata ekonomi dunia yang baru. Kebutuhan ini salah satunya bisa ditempuh melalui proses pendidikan. Dengan demikian jelaslah peran strategis pendidikan dalam tatanan ekonomi global. Lalu apakah kita akan tetap membiarkan pendidikan yang memiliki peran sangat strategis dalam tatanan ekonomi global tersebut dikuasai oleh kekuatan modal asing? Saya tidak bisa membayangkan jika itu yang terjadi.
Sebagai bagian dari masyarakat dunia, Indonesia mustahil mampu menghindar dari dampak dan imbas globalisasi. Suka atau tidak, perlahan tapi pasti pendidikan di Indonesia juga akan ikut terseret ke dalam pusaran arus globalisasi. Diperlukan kearifan dalam memahami pengaruh dan dampak globalisasi terhadap dunia pendidikan kita dan selanjutnya membuat penyikapan-penyikapan atas pengaruh dan dampak tersebut. Kita perlu untuk menciptakan ruang, menentukan kembali agenda sosial, dan memikirkan strategi-strategi politik dan kebijakan-kebijakan negara yang akan menghumanisasikan kebudayaan modal global tersebut ketika mendarat di negara kita. Bagaimanapun proses globalisasi tetap menempatkan masalah lokal sebagai masalah yang penting yang harus dipertimbangkan. Pendidikan dapat memberi sumbangan pada pengembangan unsur-unsur kearifan dan kebudayaan lokal ketika atmosfer sosial-budaya yang berkembang di tengah-tengah masyarakat demikian liar dan masif dalam mengadopsi kultur global dengan berbagai ikon modernitasnya.
Selain itu, kita mesti bisa menjadi subyek globalisasi itu sendiri, bukan hanya sekedar menjadi obyek dari globalisasi. Konsekuensinya, pendidikan harus mampu mendorong bertumbuhnya pemikiran kritis, pengembangan identitas diri dan identitas kolektif, kerjasama dan partisipasi demokratis. Sebab, hal-hal itulah yang akan dibutuhkan dalam percaturan kompetisi global. Dengan demikian pendidikan tidak hanya sekedar menyiapkan anak didik untuk siap hidup dalam era global, lebih dari itu mampu berperan dalam medan kompetisi global. Semoga.

07 Januari 2008

Menebar Virus Pembelajaran Matematika yang Bermutu

Humaniora - Kompas Senin, 30 Oktober 2006
Pendidikan MIPAMenebar Virus Pembelajaran Matematika yang Bermutu HJ Sriyanto Sepercik harapan akan pembelajaran matematika di sekolah yang lebih baik dan bermutu terbesit dari Yogyakarta. Sudah bukan zamannya lagi matematika menjadi momok yang menakutkan bagi siswa di sekolah. Jika selama ini matematika dianggap sebagai ilmu yang abstrak dan kering, melulu teoretis dan hanya berisi rumus-rumus, seolah berada "di luar"—mengawang jauh dan tidak bersinggungan dengan realitas kehidupan siswa—kini saatnya bagi siswa untuk akrab dan familier dengan matematika. Matematika realistik. Matematika yang dikonstruksi sesuai dengan konteks siswa. Dengan demikian, matematika akan lebih dekat dan bermakna bagi siswa. Itulah salah satu benang merah dari seminar nasional pendidikan matematika dengan tema "Peningkatan Mutu Pembelajaran Matematika Sekolah Menuju Indonesia Cerdas 2020" yang diselenggarakan Pusat Studi Pembelajaran Matematika Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, 6-7 Oktober 2006. Mengajar versus belajar Pembelajaran matematika oleh sekolah di Indonesia sejauh ini masih didominasi oleh pembelajaran konvensional dengan paradigma mengajarnya. Siswa diposisikan sebagai obyek, siswa dianggap tidak tahu atau belum tahu apa-apa, sementara guru memosisikan diri sebagai yang mempunyai pengetahuan. Guru ceramah dan menggurui, otoritas tertinggi adalah guru. Penekanan yang berlebihan pada isi dan materi diajarkan secara terpisah-pisah. Materi pembelajaran matematika diberikan dalam bentuk jadi. Dan, semua itu terbukti tidak berhasil membuat siswa memahami dengan baik apa yang mereka pelajari. Penguasaan dan pemahaman siswa terhadap konsep-konsep matematika lemah karena tidak mendalam. Akibatnya, prestasi belajar matematika siswa rendah. Hampir setiap tahun matematika dianggap sebagai batu sandungan bagi kelulusan sebagian besar siswa. Selain itu, pengetahuan yang diterima siswa secara pasif menjadikan matematika tidak bermakna bagi siswa. Menurut Marpaung (2003), paradigma mengajar seperti di atas tidak dapat lagi dipertahankan dalam pembelajaran matematika di sekolah. Sudah saatnya paradigma mengajar diganti dengan paradigma belajar. Paradigma belajar ini sejalan dengan teori konstruktivisme. Dalam paradigma belajar, siswa diposisikan sebagai subyek. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi, tapi suatu proses yang harus digeluti, dipikirkan, dan dikonstruksi siswa, tidak dapat ditransfer kepada mereka yang hanya menerima secara pasif.
Dengan demikian, siswa sendirilah yang harus aktif. Paradigma belajar juga seturut dengan teori Realistic Mathematics Education (RME) yang dikembangkan Freudenthal bahwa pengetahuan
matematika dikreasi, bukan ditemukan sebagai sesuatu yang sudah jadi. Oleh karena itu, siswa harus secara aktif mengkreasi (mengkreasi kembali) pengetahuan yang ingin dimilikinya. Tugas guru bukan lagi aktif mentransfer pengetahuan, tetapi menciptakan kondisi belajar dan merencanakan jalannya pembelajaran dengan materi yang sesuai dan representatif serta realistik bagi siswa sehingga siswa memperoleh pengalaman belajar yang optimal. Meningkatkan mutu pembelajaran matematika Pembelajaran matematika di sekolah dapat efektif dan bermakna bagi siswa jika proses pembelajaran matematika memerhatikan konteks siswa. Konteks nyata dari kehidupan siswa yang mencakup latar belakang keluarga, keadaan sosial, politik, ekonomi, budaya, dan kenyataan-kenyataan hidup yang lain. Pengertian-pengertian yang dibawa siswa ketika memulai proses belajar, pendapat dan pemahaman yang diperoleh dari studi sebelumnya atau dari lingkungan hidup mereka, juga perasaan, sikap dan nilai-nilai yang diyakini, itu semua merupakan konteks nyata siswa (Drost, 2002). Konsekuensinya, dikaitkan dengan kecenderungan perubahan pembelajaran matematika ke arah pendekatan konstruktif atau realistik, maka pembelajaran matematika harus dilakukan sedemikian rupa sehingga setiap siswa dengan berbagai latar belakang dan konteksnya mendapat kesempatan untuk mengonstruksi pengetahuannya dengan strategi sendiri. Menurut Howard Gardner, setiap orang memiliki kecerdasan ganda yang meliputi kecerdasan verbal/linguistic, musical/rhythmic, logical/mathematical, visual/spatial, bodily/kinesthetic, intrapersonal/introspective, interpersonal/sosial, dan naturalist/physical world, tapi yang menonjol hanya beberapa saja. Dan, orang bisa belajar apa pun dengan mudah, kalau materi/bahan disajikan sesuai dengan intelegensi yang menonjol pada orang tersebut. Konsekuensinya, pembelajaran perlu dilakukan sedemikian rupa sehingga siswa mendapat kesempatan mengembangkan kecerdasannya yang dominan secara optimal dan kecerdasan lainnya secukupnya untuk mendukung kecerdasan dominan yang dimiliki. Guru perlu mengajar dengan berbagai variasi metode pembelajaran sehingga setiap siswa merasakan disapa dan dikembangkan sesuai dengan intelegensi mereka. Prof Dr Christa Kaune dari Osnabrueck University, salah satu pembicara dalam seminar, mengemukakan peranan metakognisi dalam pembelajaran matematika sebagai suatu alat untuk memperbaiki mutu pembelajaran. Kemampuan metakognisi merupakan kemampuan untuk melihat kembali proses berpikir yang dilakukan seseorang. Kegiatan metakognisi terdiri dari planning-monitoring-reflection. Dalam aktivitas metakognisi tersebut, peran guru sebagai mediator dan bukan "menjejalkan" informasi kepada siswa. Guru mendorong siswa untuk membangun dan mengembangkan pemikiran/penalaran mereka sendiri. Sebagai mediator, guru membantu mengarahkan gagasan/ide/pemikiran siswa sesuai dengan konteks pelajaran, membantu siswa melihat hubungan antara satu pemikiran dan pemikiran yang lain, serta mendorong siswa untuk memformulasikan dan merealisasikan gagasan mereka. Salah satu faktor yang berperan dalam pembelajaran matematika adalah budaya kelas. Budaya kelas tumbuh atau dibangun dari interaksi sosial di dalam kelas dan guru memiliki peran paling dominan dalam membangun budaya kelas tersebut. Perilaku, sikap, dan kepercayaan yang dimiliki guru akan berpengaruh terhadap budaya kelas yang terbentuk. Sebagai contoh, jika guru memiliki kepercayaan yang rendah terhadap siswa, akan sulit bagi guru memercayakan proses pembelajaran pada aktivitas siswa, seperti diskusi, mengemukakan ide, menemukan sendiri konsep matematika. Guru akan cenderung mendominasi proses pembelajaran. Menurut Gravemeijer (1997), budaya kelas merupakan bentuk-bentuk kelas yang dicirikan oleh "menjelaskan dan pembenaran" dalam artian siswa diharapkan dapat menjelaskan dan membenarkan ide-ide serta penyelesaian yang mereka berikan terhadap suatu persoalan matematika.
Pembelajaran matematika akan lebih bermakna dan menarik bagi siswa jika guru menghadirkan masalah-masalah kontekstual dan realistik, yaitu masalah-masalah yang sudah dikenal, dekat dengan kehidupan riil sehari-hari siswa. Masalah kontekstual dapat digunakan sebagai titik awal pembelajaran matematika dalam membantu siswa mengembangkan pengertian terhadap konsep matematika yang dipelajari dan juga bisa digunakan sebagai sumber aplikasi matematika. Prof Dr Zulkardi menjelaskan, menurut De Lange, masalah kontekstual dapat digali dari (1) Situasi Personal Siswa; situasi yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari siswa, baik di rumah dengan keluarga, dengan teman
sepermainan, dan sebagainya. (2) Situasi Sekolah/Akademik; situasi yang berkaitan dengan kehidupan akademik di sekolah dan kegiatan-kegiatan yang berkait dengan proses pembelajaran. (3) Situasi Masyarakat; situasi yang terkait dengan kehidupan dan aktivitas masyarakat sekitar di mana siswa tinggal. (4) Situasi Saintifik/matematik; situasi yang berkaitan dengan fenomena substansi secara saintifik atau berkaitan dengan matematika itu sendiri. Dalam proses pembelajaran matematika, tentu saja sering kali siswa juga mengalami kesulitan dengan aktivitas belajarnya. Oleh karena itu, guru perlu memberikan bantuan/topangan kepada siswa dalam pembelajaran matematika. Seperti diungkapkan oleh Susento, pemberian topangan memungkinkan siswa memecahkan masalah, melaksanakan tugas atau mencapai sasaran yang tidak mungkin diusahakan siswa sendiri. Topangan merupakan semua strategi yang digunakan guru dalam membantu usaha belajar siswa melalui campur tangan yang bersifat memberi dukungan; bentuknya bisa berbagai macam, tetapi semuanya bertujuan untuk memastikan agar siswa mencapai sasaran yang berapa di luar jangkauannya. Topangan yang bisa diberikan guru, misalnya, pemberian petunjuk kecil, pemberian model prosedur penyelesaian tugas, pemberitahuan tentang kekeliruan dalam langkah pengerjaan soal, mengarahkan siswa pada informasi tertentu, menawarkan sudut pandang lain dan usaha menjaga agar rasa frustrasi siswa terhadap tugas tetap berada pada tingkat yang masih dapat ditanggung. Topangan menjadi penanda interaksi sosial antara siswa dan guru yang mendahului terjadinya internalisasi pengetahuan, keterampilan, dan disposisi, dan menjadi alat pembelajaran yang dapat mengurangi keambiguan sehingga meningkatkan kesempatan siswa mengalami perkembangan (Roehler & Cantlon, 1997). Implementasi dan tantangan Gagasan dan pemikiran yang disampaikan oleh para pakar pendidikan matematika di atas memberikan sebersit harapan dan menumbuhkan optimisme akan masa depan pembelajaran matematika di sekolah yang lebih baik dan bermutu. Namun, masih juga tersisa keraguan dalam implementasinya ketika pulang kembali di sekolah dan menatap realitas pembelajaran matematika di kelas-kelas kita. Bagaimana mengimplementasikan gagasan dan pemikiran itu dalam konteks sekolah di Indonesia, mengingat konteks siswa kita yang sangat plural dan beragam? Kiranya perlu penyelarasan atau penyesuaian dalam mengimplementasikan gagasan dan pemikiran tersebut dengan konteks masing-masing sekolah. Dan, hal ini bukanlah pekerjaan yang mudah, membutuhkan pemahaman yang mendalam dari para guru mengenai konteks siswa, sekolah, masyarakat, dan budaya yang "hidup" di lingkungan sekolah masing-masing. Belum lagi sikap ambigu pemerintah berkait dengan KBK atau yang sekarang kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) dan ujian nasional (UN)-nya. Bagaimana nanti jika guru mengembangkan model pembelajaran matematika konstuktif atau realistik, seperti disarankan di atas, tetapi siswa dievaluasi dengan menggunakan soal-soal UN yang berbentuk pilihan ganda dan jauh dari model soal kontekstual atau realistik? Bagaimana nanti kalau banyak siswa yang tidak lulus? Kekhawatiran semacam itu tetap saja menghinggapi para guru. Pemerintah semestinya konsisten dengan apa yang telah dibuat, misalnya UU Sisdiknas yang memberi kewenangan kepada guru untuk melakukan evaluasi terhadap siswa ajarnya, atau yang terbaru dengan KTSP di mana dalam KTSP tersebut juga mensyaratkan bahwa dalam setiap kesempatan pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai situasi (contextual problem). Dengan masalah kontekstual, peserta didik secara bertahap dibimbing untuk menguasai konsep matematika. Namun, kalau kemudian pemerintah tetap memberlakukan UN, apakah ini tidak kontradiktif?
Tantangan lain adalah bagaimana guru mengusahakan bahan ajar dalam pembelajaran matematika yang kontekstual dan realistik. Sejauh ini buku ajar matematika yang dipakai di sekolah jauh sekali dari yang namanya konsep matematika konstruktif atau realistik. Guru mau tidak mau dituntut untuk bekerja keras dan terus belajar. Masalah kontekstual dan realistik tidak mungkin ditemukan jika guru hanya diam—berpangku tangan—guru mesti terus bergerak, menggali, dan terus-menerus berusaha membumikan konsep matematika dengan menemukan hubungan atau keterkaitan bahan ajar matematika dan persoalan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Tantangan bahan ajar yang belum tersedia sebenarnya juga bisa menjadi peluang bagi guru untuk menyusun bahan ajar sendiri. Guru satu dengan yang lain bisa berkolaborasi sehingga memperkaya satu sama lain. Bukan hal yang
mustahil jika hasil kolaborasi kelak menjadi buku materi ajar matematika realistik yang akan semakin memperkaya khazanah buku teks siswa di Indonesia. Ke depan, kerja sama antara para guru, para peneliti pendidikan matematika, dan lembaga pendidikan tenaga keguruan (LPTK) yang memiliki concern terhadap pendidikan matematika realistik sangat mutlak dibutuhkan untuk bersama-sama menyemaikan benih yang telah ditaburkan. Baik jika setiap LPTK bermitra dengan sekolah, sebagai sekolah dampingan misalnya, sehingga pengembangan pembelajaran matematika yang bermutu dapat terwujud. Bagaimanapun guru tidak bisa berjalan sendirian. Butuh dukungan dari sekolah, peneliti, LPTK, dan sebagainya. Para guru, bersiaplah! Virus itu sudah ditebar, tinggal menunggu waktu menjangkitimu!
HJ SriyantoGuru SMA Kolese De Britto Yogyakarta

05 Januari 2008

Siapa Bilang Jadi Guru Gampang

Siapa Bilang Jadi Guru Itu Gampang

Yogyakarta (Kompas: 04/12/06)Selama ini guru cenderung dianggap sebagai profesi kelas dua. Sebagian besar orang tidak mau menjadi guru, kecuali karena kepepet alias daripada menganggur. Ada anggapan seakan siapa pun yang sudah mengantongi ijazah sarjana bisa menjadi guru asal dia mau. Pekerjaannya juga mudah, hanya pagi datang, mengajar, siang sudah bisa pulang.
Profesi guru cenderung dianggap gampang. Orang sering kali lupa bahwa guru memegang peranan penting dalam proses pendidikan. Walaupun bukan merupakan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan, guru tetaplah merupakan titik sentral proses pendidikan. Tanpa guru, proses pendidikan akan timpang.
Lahirnya Undang-Undang (UU) Guru dan Dosen membawa sedikit angin segar bagi profesi guru. UU ini menjadi semacam payung hukum, sekaligus merupakan bentuk pengakuan pemerintah terhadap profesi guru. Diharapkan dengan adanya UU Guru dan Dosen martabat guru semakin dihargai, profesi guru dapat berkembang sejajar dengan profesi-prosesi lain, dapat mendorong peningkatan kualitas guru, dan akhirnya bermuara pada peningkatan mutu pendidikan di Tanah Air.
Paling tidak dengan adanya UU Guru dan Dosen, saat ini profesi guru pun mulai dilirik orang, khususnya setelah UU tersebut menjanjikan perbaikan kesejahteraan guru, yaitu tunjangan sebesar satu kali gaji pokok dan tambahan tunjangan fungsional. Meski demikian, UU Guru dan Dosen juga membawa konsekuensi yang tidak mudah bagi para guru. Meski menjanjikan perbaikan kesejahteraan bagi para guru, UU ini juga menuntut banyak hal dari para guru.
Sebelum mencicipi tunjangan sebesar satu kali gaji pokok dan tambahan tunjangan fungsional sebesar Rp 500.000 per bulan, guru mesti memenuhi berbagai persyaratan terlebih dahulu. Kualifikasi akademis minimal strata satu (S1) atau D-IV, serta harus memiliki sertifikat pendidik yang diperoleh melalui pendidikan profesi dan serangkaian uji kompetensi.
Syarat tersebut tampaknya hal yang lumrah, tuntutan yang wajar bagi sebuah profesi. Namun, tidak demikian halnya dengan profesi guru di negeri ini. Jika kita menengok realitas guru saat ini, persyaratan tersebut merupakan masalah dan tantangan yang berat. Dari hampir 2,7 juta guru di Indonesia, 1,8 juta guru belum memenuhi kualifikasi akademis S1. Di tingkat sekolah menengah tidak begitu parah; 62,08 persen guru sekolah menengah telah mengantongi ijazah S1. Akan tetapi, di tingkat pendidikan dasar, terutama SD, situasinya sangat parah. Dari sekitar 1,3 juta guru SD, hanya 8,3 persen yang telah memenuhi kualifikasi akademis S1. Program massalisasi peningkatan derajat akademik guru SD menjadi D-II pun selama belasan tahun hanya mencapai 40 persen.
Kebanyakan guru SD hanya berkualifikasi D-I atau di bawahnya. Untuk memenuhi syarat kualifikasi akademis harus S1 berarti sebanyak 1,8 juta guru harus menempuh studi lagi. Padahal, UU Guru dan Dosen hanya memberi batasan waktu hingga 10 tahun ke depan. Mungkinkah? Dananya dari mana? Apakah pemerintah mampu membiayai?
Jika guru sendiri yang harus membiayai, tampaknya dengan situasi taraf penghidupan guru sekarang akan sulit untuk direalisasikan. Selain itu juga harus diingat keterbatasan LPTK dalam menampung guru yang akan melanjutkan studi guna memenuhi kualifikasi akademik S1. Jadi, bisa dipastikan akan ada banyak guru yang tercecer. Artinya, hingga 10 tahun ke depan mungkin masih akan banyak guru yang belum memenuhi kualifikasi akademis S1. Situasi demikian akan memunculkan kompetisi yang sangat ketat di antara para guru. Para guru mau tidak mau harus bersaing dengan sesama guru lainnya supaya tetap bisa bertahan menjadi guru.
Bukan jaminan
Apakah ketika kualifikasi akademis S1 dipenuhi sudah berarti selesai? Ternyata syarat kualifikasi akademis S1 itu pun juga belum cukup, guru mesti memperoleh sertifikat pendidik lagi. Betapa susahnya bagi guru hanya untuk sekadar memperoleh tunjangan profesional sebesar satu kali gaji pokok dan tunjangan fungsional sebesar Rp 500.000. Jadi, siapa bilang jadi guru gampang?
Juga harus diingat, memenuhi kualifikasi akademis S1, memiliki sertifikat pendidik, maupun lulus uji kompetensi tidak dengan sendirinya menjamin seorang guru berkualitas dan layak mengajar atau dengan sendirinya menjadikan seorang guru menjadi profesional. Apalagi jika semua itu diperoleh melalui jalan pintas, hanya formalitas. Kualifikasi akademis S1 dan sertifikat pendidik hanyalah tuntutan formal-legal yang harus dipenuhi seseorang untuk menjadi guru. Akan tetapi, kualitas guru yang sesungguhnya ditentukan oleh profesionalitas dan kecintaannya pada profesi yang digeluti, yaitu ketika mereka berada di ruang kelas bersama-sama dengan dan melayani siswa. Mengajar dan mendidik, memanusiakan manusia-manusia muda. Hal ini sesungguhnya jauh lebih sulit dipenuhi dan sekaligus menjadi tantangan yang tiada habisnya bagi seorang guru.
Dinamika pendidikan di negeri ini yang sangat fluktuatif, mudah berubah-ubah, menuntut guru untuk bisa fleksibel, adaptif dan bergerak dengan cepat. Kurikulum pendidikan yang senantiasa bisa berganti sewaktu-waktu adalah contoh yang bisa ditunjuk untuk mengilustrasikan situasi ini. Demikian juga dengan ujian nasional (UN), yang selalu tidak jelas pada setiap awal tahun pelajaran, antara ada dan ditiadakan, dengan kriteria/standar kelulusan yang berubah-ubah dan sering kali baru ada kepastian beberapa bulan menjelang pelaksanaan UN. Berhadapan dengan situasi demikian, di mana guru acap kali menjadi obyek kebijakan pendidikan, sungguh dibutuhkan ketahanan, kesabaran, penyesuaian, dan penyikapan yang tidak mudah.

Guru senantiasa dituntut untuk berkembang seiring berkembangnya zaman. Sebab, zaman yang berubah juga menuntut perubahan peranan guru dalam proses pendidikan. Jika sebelumnya peran guru menekankan pembentukan wawasan serta pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan pada abad industri, kini peran guru mesti bergeser menjadi fasilitator pembelajaran yang merupakan tuntutan abad informasi.
Perubahan ini tidak berarti tugas dan tanggung jawab guru menjadi lebih ringan karena guru tetap memiliki tanggung jawab dalam pembentukan pengetahuan, keterampilan dan sikap-nilai dari proses pembelajaran yang berlangsung, serta bertanggung jawab untuk berpartisipasi secara nyata dalam upaya pencapaian tujuan pendidikan secara utuh. Konsekuensinya, guru mesti memahami karakteristik dan isi bahan ajar, menguasai konsep, mengenal metodologi ilmu yang diampunya, memahami konteks bidang studi itu, juga kaitannya dengan masyarakat, lingkungan, dan ilmu pengetahuan lain. Selain itu, guru juga dituntut untuk mengenal lebih dalam kepribadian para siswanya.
Oleh karena itu, guru mesti juga memahami pendekatan personal, menguasai ilmu psikologi dan perkembangan anak, menguasai teori-teori pedagogis, menguasai serta mampu mengembangkan berbagai model pembelajaran. Hal ini menuntut peningkatan kualitas dan kompetensi dari para guru, dengan terus-menerus memperbarui diri sesuai dengan tuntutan zaman. Lebih dari itu, guru mesti mencintai profesinya. Kecintaan akan profesi merupakan pintu masuk bagi guru untuk menjadi profesional dan berkualitas. Seperti jejaka mencintai gadis pujaannya, ia rela melakukan apa saja demi gadis yang dicintainya. Jika guru mencintai profesinya, mencintai anak-anak didiknya, apa pun hambatan dan kesulitan yang dihadapi—apalagi hanya gaji yang rendah atau tunjangan yang disunat—tidak akan sanggup mematahkan semangat guru untuk berkarya demi memanusiakan manusia-manusia muda.
Dan, untuk dapat mencintai profesinya, guru harus menengok kembali ke belakang, mengapa ia menjadi guru. Memurnikan kembali motivasi awal menjadi guru. Menghapus keterpaksaan masa lalu dan menukarnya dengan kejernihan visi dan misi baru. Bahwa dengan memilih menjadi guru, ada tanggung jawab moral dan sekaligus tanggung jawab sosial yang jauh lebih besar daripada sekadar keterpaksaan diri, yang mesti diemban oleh guru. Dan, harus diakui, ini juga bukan perkara mudah. Butuh proses yang sangat panjang.
Jadi, siapa bilang jadi guru itu gampang! Indonesia, hargailah gurumu! Hanya dengan cara begitu pendidikan di negeri ini akan maju.
HJ Sriyanto, Guru SMA Kolese De Britto, Yogyakarta