13 Maret 2008

Pendidikan, Untuk Siapa?

Sampai saat sekarang pendidikan masih diyakini sebagai salah satu kunci pengembangan kualitas sumber daya manusia. Namun demikian, sebagian besar masyarakat terancam tidak dapat mengakses pendidikan, karena biayanya yang mahal. Bayangkan saja, Pendidikan untuk balita seperti play group, pra-TK dan TK uang masuknya jutaan rupiah. Uang SPP di SD mencapai ratusan ribu per bulan. Pun biaya pendidikan di sekolah menengah, apalagi di Perguruan Tinggi. ITB malah membuka jalur penerimaan mahasiswa baru khusus dengan syarat pembayaran 45 juta untuk tiap calon mahasiswa. Bahkan Departemen Teknik Fisika ITB menyediakan 10 bangku untuk mahasiswa baru dengan harga 25.000 dolar AS perbangkunya (Kompas, 8/5/2003).
Biaya pendidikan yang semakin mahal tidak lepas dari rendahnya anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk sektor pendidikan. Rasio anggaran pendidikan di Indonesia terus mengalami penurunan sejak tahun 1981 hingga sekarang. Dalam APBN 2001 pemerintah hanya mengalokasikan 4,4 % dari total APBN atau sekitar Rp 9,707 triliun. Sedangkan RAPBN 2002, meski terdapat kenaikan menjadi Rp 11,552 triliun, namun tetap tidak signifikan dibandingkan dengan sektor yang lainnya. Dan meskipun pasal 31 UUD 1945 yang telah diamandemen mensyaratkan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN. Dalam kenyataannya anggaran sektor pendidikan dalam RAPBN 2003 hanya Rp 13,6 triliun atau sekitar 4,15 % dari APBN, masih kalah dibanding anggaran untuk bidang pertahanan dan keamanan, yaitu 7,5 % atau sekitar Rp 24,7 triliun.
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa perhatian pemerintah terhadap pendidikan masih sangat kurang. Betapa pendidikan tidak dianggap sebagai kekuatan dasar dari pembangunan bangsa. Pendidikan tidak dipandang sebagai investasi jangka panjang dan aset masa depan. Minimnya dana pendidikan yang dianggarkan pemerintah menyebabkan lembaga pendidikan harus berupaya untuk mencukupi biaya operasional penyelenggaraan pendidikannya, dan hal itu paling gampang dilakukan dengan menaikan biaya pendidikan. Akhirnya yang menanggung bebannya adalah masyarakat, sehingga semakin banyak masyarakat yang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan dasar di bidang pendidikan.
Komersialisasi pendidikan yang berkembang dewasa ini juga berdampak pada mahalnya biaya pendidikan. Lembaga Pendidikan cenderung beralih fungsi menjadi lembaga bisnis. Meskipun hal itu sebenarnya juga tidak terlepas dari tuntutan otonomi pendidikan, dimana lembaga pendidikan dituntut untuk mengatur dan mengelola lembaganya secara mandiri termasuk dalam hal anggaran pendidikan. Peralihan status PTN menjadi Badan Hukum Milik Negara, dan menjamurnya perguruan tinggi yang hanya bertujuan mendapatkan mahasiswa sebanyak-banyaknya tanpa ditopang dengan kualitas dan fasilitas pendukung proses pendidikan yang memadai adalah beberapa yang bisa dicontohkan sebagai penyebab mahalnya pendidikan.
Di sisi lain, budaya materialisme dan konsumerisme yang berkembang dalam masyarakat telah menempatkan penghargaan terhadap pendidikan pada titik yang rendah. Pendidikan dianggap tidak lebih sebagai product untuk menaikkan gengsi. Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin tinggi gengsinya, tanpa menghitung kualitasnya. Berbagai upaya dilakukan agar dapat diterima di lembaga pendidikan yang dianggap bisa menaikkan gengsi, termasuk dengan cara membayar mahal uang sekolah. Pada titik inilah terjadi kompromi antara lembaga pendidikan dan orangtua. Akhirnya yang berduitlah yang mampu mengenyam pendidikan, meski dari sisi akademis tidak mampu. Sebaliknya anak didik yang memiliki kemampuan akademis baik, karena secara ekonomis tidak mampu maka ia tidak dapat memperoleh pendidikan yang baik.
Biaya pendidikan yang semakin mahal dan tidak terjangkau akan berimplikasi pada banyaknya angka putus sekolah. Data Balitbang Depdiknas menunjukkan bahwa sekitar 29,8% siswa SD tidak menyelesaikan sekolah, di tingkat SLTP 14,8% dan SMU sekitar 13,4%. Tahun 2000 saja, sedikitnya 7,2 juta anak di seluruh Indonesia tidak mampu merasakan bangku sekolah, baik di jenjang SD, SLTP dan SLTA. Ada kecenderungan karena biaya pendidikan sangat mahal orangtua yang secara ekonomi lemah terpaksa melakukan deschooling, menyerahkan pendidikan kepada komunitas, belajar dari pengalaman hidup sehari-hari dari masyarakat sekitarnya. Kesulitan ekonomi telah memaksa orangtua bekerja keras sepanjang hari dan membiarkan anaknya mendidik diri sendiri di rumah atau di jalan. Bahkan tidak sedikit anak usia dini yang memasuki dunia kerja.
Meskipun dalam konstitusi negara disebutkan bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran, pun pemerintah telah mencanangkan wajib belajar 9 tahun, namun masih banyak masyarakat yang tidak dapat mengeyam pendidikan. Kemiskinan telah menyebabkan kemampuan mengakses pendidikan terputus. Dalam situasi demikian, pendidikan yang berpihak pada rakyat kecil mesti dikedepankan. Pendidikan bukan hanya monopoli kalangan berduit saja, kalangan bawahpun berhak mendapatkan pendidikan yang layak.
Melihat realitas pendidikan yang semakin mahal dan tidak terjangkau oleh sebagaian besar masyarakat, kiranya perlu mendesakkan kepada pemerintah untuk mengedepankan sektor pendidikan sebagai prioritas dalam pembangunan. Perhatian pemerintah harus diwujudkan dengan menaikkan anggaran pendidikan, minimal seperti yang diamanatkan dalam pasal 31 amandemen UUD 1945, yaitu 20% dari APBN. Sudah saatnya pendidikan sebagai kunci pengembangan kualitas sumber daya manusia mendapatkan perhatian yang serius. Sebab jika tidak, bangsa ini tidak akan mampu bersaing dalam kancah percaturan dunia global yang kompetitif. Selain itu, tanpa disadari dengan minimnya anggaran yang dialokasikan untuk sektor pendidikan, pemerintah telah menanam bom waktu. Banyaknya angka putus sekolah secara langsung ataupun tidak langsung akan menyumbang bagi terciptanya kerawanan sosial. Rendahnya penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, toleransi yang tinggi terhadap kejahatan kiranya lebih mahal taruhannya dibandingkan anggaran yang dikeluarkan pemerintah untuk pendidikan.
Selain itu, kiranya perlu merumuskan kembali orientasi pendidikan. Pendidikan terutama pendidikan dasar dan menengah harus mengarah pada keterbentukan karakter pribadi peserta didik. Dengan bekal karakter pribadi yang kuat, memiliki sikap kemandirian, kepercayaan terhadap kemampuan sendiri, dan menjunjung nilai-nilai kemanusiaan peserta didik akan sanggup survival dalam persaingan global. Mereka akan sanggup menciptakan peluang kerja alternatif dan akan terus belajar dengan caranya sendiri, meski tidak lewat pendidikan formal.@

Tidak ada komentar: