08 Januari 2008

Mestikah Kita Menjual pendidikan?

Globalisasi telah mencairkan dunia. Sekat negara dan sekat geografis tak mampu lagi membendung serbuannya. Berbagai perubahan terjadi secara tidak teratur, tidak linier, tidak kontinu dan sulit diprediksi. Repotnya, ketika dunia bergerak dengan begitu cepatnya, kita sebagai bangsa seolah hanya jalan di tempat, masih saja terus bergulat dengan berbagai persoalan sendiri yang hingga kini juga tidak jelas penyelesaiannya. Dalam konteks pendidikan, ketika negara-negara lain sudah berpacu dengan gagasan-gagasan besar pendidikan dalam rangka menapaki globalisasi, pendidikan di Indonesia masih berkutat dengan gedung sekolah yang roboh, rendahnya anggaran pendidikan, biaya pendidikan yang mahal, dan tetek-bengek lain yang tidak jua kunjung berakhir.
Sekali membuka mata kita tergeragap, globalisasi telah menyergap di depan mata. Kitapun gagap menyikapinya. Dan tanpa berpikir panjang mengiyakan begitu saja pendidikan menjadi objek komoditas yang diperjual-belikan. Pendidikan dasar dan menengah, pendidikan tinggi, dan pendidikan non formal dibiarkan menjadi bidang usaha terbuka yang bisa dimasuki modal asing. Begitu mudahnya kita mengikuti kemauan global, tanpa melihat kemampuan lokal serta prinsip-prinsip kependidikan dalam konstitusi negara kita. Kita lupa bahwa pendidikan mengemban visi dan misi ideologi bangsa. Kita lupa bahwa pendidikan adalah kendaraan bagi bangsa ini demi mencapai cita-cita untuk apa negara ini diberlangsungkan. Nah, apa jadinya kalau kendaraan itu ‘disopiri’ bangsa lain, apalagi kalau kendaraan itu ‘dijual’ pada kekuatan modal asing?
Benar bahwa kita masih terseok dalam hal pembiayaan pendidikan. Meski konstitusi negara mensyaratkan anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN, toh realitasnya pemerintah belum mampu memenuhinya. Tapi dengan kondisi ini bukan berarti kita akan dengan mudahnya membiarkan pihak asing masuk menanamkan modalnya dalam sektor pendidikan. Benar bahwa tentu ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi ketika pihak asing menanamkan modalnya. Hanya saja dengan berkaca pada pengelolaan pendidikan selama ini kira-kira mampukah kita mengimbangi kekuatannya? Tanpa kesiapan sumber daya manusia yang baik dan kemampuan untuk mengimbanginya, keterlibatan modal asing dalam institusi pendidikan bisa berujung pada ‘penjajahan’ gaya baru. Penguasaan asing baik secara materi maupun nilai-nilai menjadi dominan. Pengalaman membuktikan, dalam banyak sektor kekuatan modal asing cenderung mengeruk keuntungan demi kepentingan mereka sendiri daripada untuk kemaslahatan rakyat banyak.
Pertanyaannya sekarang, mau apa kita dengan pendidikan kita? Bagaimanakah pendidikan mesti diposisikan dalam era globalisasi? Seperti apa pendidikan mesti mewujud dan diwujudkan? Pendidikan seperti apa yang akan menjadi ‘kereta’ bagi bangsa ini dalam mengarungi arus globalisasi? Itulah samodra besar pertanyaan yang mau tidak mau harus dicari jawabannya, agar bangsa ini tidak kerem di tengah lautan globalisasi, terpuruk ditengah kompetisi global.
Berkaitan dengan tata ekonomi berencana (planned economic order) yang antara lain dikembangkan di negara-negara Eropa Timur, tak ketinggalan juga di Indonesia, pendidikan seringkali diposisikan sebagai proses penanaman modal dalam bentuk manusia (human investment). Pendidikan dipandang sebagai wahana penyiapan peserta didik untuk memasuki sektor ekonomi produktif. Dengan demikian, perencanaan pendidikan diupayakan link and match dengan perencanaan ekonomi. Akibatnya, proses dan isi pendidikan dikendalikan secara serta merta oleh kebutuhan pasar kerja (Sudarman Danim, 2003). Karena alasan tersebut, maka tidak mengherankan jika pemerintah dengan mudahnya mengikuti kemauan global seperti terjadi saat sekarang, dimana modal asing dibiarkan memasuki sektor pendidikan kita.
John Dewey tegas-tegas menolak pandangan di atas. Menurutnya, tidak pada tempatnya mengaitkan tatanan perilaku kelembagaan pendidikan dengan kebutuhan pasar kerja. Sebab secara fungsional tujuan utama pendidikan adalah membentuk komunitas-komunitas sosial ideal sebagai bagian dari proses transformasi pendewasaan peserta didik, apapun bentuk dan seperti apapun ragam pendidikan itu dikemas.
Tapi masihkah relevan berbicara tentang komunitas sosial di era globalisasi? Bukankah tatanan ekonomi global berpotensi untuk mencerai-beraikan komunitas sosial, menjadikan manusia sebagai sosok-sosok individualis yang terpisah dari kawanan sosial tradisionalnya? Manusia dalam tatanan ekonomi global tereduksi sebagai pekerja yang terpisah-pisahkan satu sama lain atas dasar pekerjaan dan tempat kerja. Akibatnya ada kecenderungan seakan-akan mereka telah kehilangan jejak untuk merepresentasikan nilai-nilai kemanusiaannya. Kehidupan sosial masyarakat makin miskin interpretasi obyektif, daya sensibilitas sosialnya terus tereduksi.
Saya pikir di sinilah letak pentingnya kita merumuskan dan mendefinisikan kembali makna politis dan strategis pendidikan di era globalisasi ini. Apakah pendidikan hanya akan melulu sekedar memasok tenaga kerja bagi tatanan ekonomi global dan membiarkan mereka terlibas roda ekonomi global menjadi sosok individu yang teralienasi, dan tercerai-berai dari kawanan sosialnya? Atau jika tidak, peran apa yang bisa dimainkan pendidikan dalam tatanan ekonomi global? Masih mampukah pendidikan sebagai media pembebasan dan pemerdekaan kemanusiaan?
Pendidikan tetap mempunyai potensi membebaskan dan memerdekakan, demikian Paulo Freire. Menurutnya, pendidikan yang membebaskan merupakan jalan menuju pengetahuan dan pemikiran kritis. Bagaimanapun pengetahuan adalah dasar landasan tata ekonomi global yang baru. Globalisasi telah memperbesar arti penting pengetahuan, sifat kreatif dan inovatif, pemikiran kritis dan kemampuan memecahkan masalah. Kemajuan ekonomi di negeri manapun makin lama makin memerlukan basis yang luas berupa individu-individu yang sangat sadar, percaya diri, memiliki pemikiran kritis, mampu berpartisipasi, melek huruf, dan melek angka untuk berkompetensi dalam tata ekonomi dunia yang baru. Kebutuhan ini salah satunya bisa ditempuh melalui proses pendidikan. Dengan demikian jelaslah peran strategis pendidikan dalam tatanan ekonomi global. Lalu apakah kita akan tetap membiarkan pendidikan yang memiliki peran sangat strategis dalam tatanan ekonomi global tersebut dikuasai oleh kekuatan modal asing? Saya tidak bisa membayangkan jika itu yang terjadi.
Sebagai bagian dari masyarakat dunia, Indonesia mustahil mampu menghindar dari dampak dan imbas globalisasi. Suka atau tidak, perlahan tapi pasti pendidikan di Indonesia juga akan ikut terseret ke dalam pusaran arus globalisasi. Diperlukan kearifan dalam memahami pengaruh dan dampak globalisasi terhadap dunia pendidikan kita dan selanjutnya membuat penyikapan-penyikapan atas pengaruh dan dampak tersebut. Kita perlu untuk menciptakan ruang, menentukan kembali agenda sosial, dan memikirkan strategi-strategi politik dan kebijakan-kebijakan negara yang akan menghumanisasikan kebudayaan modal global tersebut ketika mendarat di negara kita. Bagaimanapun proses globalisasi tetap menempatkan masalah lokal sebagai masalah yang penting yang harus dipertimbangkan. Pendidikan dapat memberi sumbangan pada pengembangan unsur-unsur kearifan dan kebudayaan lokal ketika atmosfer sosial-budaya yang berkembang di tengah-tengah masyarakat demikian liar dan masif dalam mengadopsi kultur global dengan berbagai ikon modernitasnya.
Selain itu, kita mesti bisa menjadi subyek globalisasi itu sendiri, bukan hanya sekedar menjadi obyek dari globalisasi. Konsekuensinya, pendidikan harus mampu mendorong bertumbuhnya pemikiran kritis, pengembangan identitas diri dan identitas kolektif, kerjasama dan partisipasi demokratis. Sebab, hal-hal itulah yang akan dibutuhkan dalam percaturan kompetisi global. Dengan demikian pendidikan tidak hanya sekedar menyiapkan anak didik untuk siap hidup dalam era global, lebih dari itu mampu berperan dalam medan kompetisi global. Semoga.

Tidak ada komentar: