13 Maret 2008

Membaca Kekerasan dalam Praksis Pendidikan Kita

Kekerasan dewasa ini hampir menghinggapi seluruh segi kehidupan. Multi krisis yang tengah dialami negeri ini, telah banyak melahirkan kekerasan. Pun kekerasan tak luput hadir dan turut mewarnai dunia pendidikan kita. Tawuran antar pelajar hampir setiap kali terjadi dan terus berulang dari tahun ke tahun. Tidak jarang kita pun mendengar berita guru melakukan kekerasan terhadap anak muridnya. Dan yang membuat miris, kekerasan tersebut tidak hanya menyebabkan luka, tapi bahkan sampai ada yang merenggut nyawa.
Mungkin akan sedikit sulit untuk menerima kenyataan bahwa kekerasan hadir dan ikut mewarnai praksis pendidikan kita. Bagaimana mungkin pendidikan yang seharusnya melahirkan insan-insan humanis malah mencetak para pelaku tindak kekerasan? Pelajar dan mahasiswa yang notabene adalah produk dari institusi pendidikan, orang-orang yang berproses dan bergelut di dalam dunia pendidikan, mengapa dengan mudahnya melakukan aksi kekerasan? Sungguh merupakan hal yang ironis. Bagaimana mungkin mereka bertindak tanpa kejernihan pikiran dan perasaan, tapi sebaliknya cenderung emosional dan ngotot menganggap dirinya yang paling benar. Dimanakah sikap kritis, kedewasaan pola pikir yang mencirikan sebagai individu yang berproses dalam pendidikan? Tanpa berpikir panjang dan secara emosional melempari dan merusak fasilitas umum, mengeroyok, menggebuki bahkan sampai menghilangkan nyawa. Adakah ini tanda-tanda kegagalan proses pendidikan kita? Mengapa institusi pendidikan malah seringkali melahirkan tindak kekerasan?
Apa yang terjadi diatas bisa jadi mengindikasikan adanya gejala kemerosotan dan semakin rendahnya penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Dan apabila mau merunut dan merefleksikan kembali praksis pendidikan yang berlangsung selama ini, kiranya wajar jika hal tersebut terjadi. Mengapa? Karena seperti diungkapkan St. Kartono (2002;129), praksis pendidikan kita dari jenjang sekolah dasar sampai pendidikan tinggi menganut supremasi IQ alias pendewaan akal, sementara perasaan tidak pernah digarap secara formal strategis.
Kurikulum pendidikan kita yang begitu padat, tidak cukup memberikan ruang bagi pendidik dan peserta didik untuk lebih dalam menggali kemampuan, potensi, kebenaran dan keindahan serta sikap perilaku yang terbuka. Proses pendidikan menjadi tidak cukup bermakna. Pendidik dan peserta didik telah kehilangan kesempatan untuk mengolah pengalaman belajar, untuk memaknai proses pendidikan. Kondisi ini masih diperparah lagi dengan tuntutan orang tua kepada para peserta didik untuk mengikuti berbagai aktivitas diluar kegiatan belajar di sekolah, seperti les pelajaran atau kursus-kursus lain. Hal ini tanpa disadari telah menjauhkan peserta didik dari realitas kehidupan di sekitarnya. Mencerabut kesempatannya untuk bersosialisasi, yang memungkinkannya untuk lebih dekat mengenal dan mengembangkan sisi kemanusiaannya. Akibatnya, banyak peserta didik yang tidak semakin pandai atau cerdas. Namun sebaliknya, justru dengan semakin banyak dijejali berbagai macam les dan kursus, peserta didik akan kehilangan martabat kemanusiaannya dan tidak humanis.
Proses pendidikan yang berlangsung selama ini cenderung lebih menekankan pada pengembangan sisi kognitif belaka dan mengesampingkan pengembangan sisi afektif dan sisi-sisi kemanusiaan peserta didik. Hati dan rasa sebagai penyeimbang akal pikir, jarang sekali mendapatkan pengasahan dalam proses pendidikan. Demikian juga dengan kepekaan sosial atau kepedulian terhadap sesama, tidak pernah terlatih dengan baik karena tidak pernah dihadirkan dalam praksis pendidikan. Kalau proses pendidikan mengasingkan peserta didik dari realitas kemanusiaannya, maka yang terjadi mereka pun akan tumbuh dengan mengabaikan penghargaan terhadap sesamanya sebagai manusia. Sehingga tidak mengherankan apabila terjadi tindak-tindak kekerasan seperti pengroyokan, pemukulan dan tindak anarkis lainnya, yang dilakukan pelajar atau mahasiswa karena mereka jarang sekali berbicara dengan hati atau perasaan, tidak mengasah kepekaan sosial dan kurang bersentuhan dengan realitas sosial mereka.
Selain itu, seperti diungkapkan Prof. Kurt Singer seorang ahli pedagogi dari Jerman, bahwa sekolah bukan lagi tempat yang nyaman bagi anak-anak. Sistem pendidikan sekolah mau tak mau menjadikan guru sebagai agen yang mengawasi, menindas dan merendahkan martabat siswa. Sekolah menjadi lingkungan penuh sensor yang mematikan bakat dan gairah anak untuk belajar. Pekerjaan dan kewajiban sekolah menjadi diktator yang memusnahkan kemampuan anak untuk belajar menjadi dirinya. Sekolah bukan lagi tempat untuk belajar melainkan tempat untuk mengadili dan diadili. (Sindhunata, Majalah Basis hal. 3 edisi Januari-Februari 2001). Tanpa disadari sekolah telah menjadi tempat bagi berlangsungnya penindasan terselubung. Banyak kekerasan terselubung yang seringkali terjadi di sekolah tanpa disadari. Akibatnya, sebagai pelampiasan dari ketertekanan ini, ketika siswa berada di luar sekolah mereka melakukan tindak kekerasan dengan tawuran, pengrusakan fasilitas umum dan lain sebagainya. Meluapkan kefrustasian mereka dengan berbagai tindak destruktif .
Melihat kecenderungan diatas dan juga kecenderungan yang terjadi dalam masyarakat kita, dimana penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan begitu merosot. Baik kiranya untuk mulai membenahi semua itu dengan mengoreksi dari praksis pendidikan yang tengah berlangsung selama ini. Pendidikan mau tidak mau harus menyertakan dimensi kemanusiaan dalam praksisnya.
Menurut Mardiatmadja (1986), ada tiga prinsip yang dapat disumbangkan oleh humaniora, khususnya dalam kaitannya dengan praksis pendidikan. (1) Dalam proses pendidikan, pengembangan pikiran dan hati harus berjalan bersama. (2) Peserta didik harus diberi kesempatan untuk berkenalan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal dan abadi. (3) Dalam pendidikan harus ada kerjasama erat antara pendidik dan peserta didik serta antara teori dan praktek.
Apabila ketiga prinsip diatas di pegang dalam setiap praksis pendidikan, maka niscaya pendidikan akan sungguh dapat memanusiakan manusia yang berproses di dalamnya. Karena menghadirkan dimensi kemanusiaan dalam praksis pendidikan berarti menuntut interaksi pendidikan yang menempatkan pendidik dan peserta didik sebagai manusia dengan keseluruhan pribadinya yang utuh.
Agar dimensi kemanusiaan tetap dikedepankan dalam praksis pendidikan, kurikulun harus menyajikan materi yang memungkinkan bagi tumbuhnya sikap kritis peserta didik. Karena hanya dengan sikap kritis, pendidikan akan memberikan kemungkinan bagi peserta didik untuk memiliki kemampuan berpikir. Dengan kemampuan berpikir yang menyertakan daya kritis, maka pribadi yang belajar dapat terus-menerus mempermasalahkan pendapatnya sendiri dan membuat reinterprestasi atas dunianya. Sehingga dapat mengaktualisasikan dirinya secara utuh. Dengan demikian, akan terbuka ruang dialog yang merupakan bentuk perjumpaan antar sesama manusia. Banyak peristiwa kekerasan sebenarnya terjadi karena tiadanya ruang dialog semacam ini. Tiadanya komunikasi dan kurangnya pemahaman dan penghargaan terhadap kerangka berpikir orang lain yang berbeda, telah mengakibatkan pertentangan, pertumpahan darah dan bahkan hilangnya nyawa.
Pendidikan harus dapat mengembangkan peserta didik secara integral, yaitu seluruh sisi kemanusiaannya secara utuh. Dan ini hanya mungkin tercapai jika pendidikan bukan hanya memfokuskan diri pada sisi intelektual saja, tapi juga secara bersamaan mengolah sisi emosional, sosial dan spiritual dengan berimbang. Ada keseimbangan antara teori dan praksis yang terintegrasi dalam kehidupan peserta didik secara nyata. Tanpa itu semua, maka pendidikan akan timpang, tidak akan pernah menemukan makna yang sesungguhnya. Dan seharusnya kekerasan yang telah cukup berakar kuat dalam budaya masyarakat kita dapat dikikis dari praksis pendidikan yang menghadirkan dimensi kemanusiaan didalamnya. Semoga!@

Tidak ada komentar: