08 Januari 2008

Jangan Ada Bohong Di Sekolah Kita

Dari Sumatra Utara kebenaran itu telah disuarakan untuk dunia pendidikan Indonesia. Salut atas apa yang sudah dibuat oleh para guru dari Komunitas Air Mata Guru, yang sudah berani membongkar kecurangan dalam praktik pendidikan kita. Pun sekaligus turut prihatin atas apa yang menimpa mereka. Karena keberanian mereka mengungkap kecurangan ujian nasional (UN), mereka harus mendapatkan sanksi. Mulai dari dikurangi jam mengajarnya hingga tidak diberi jam mengajar sama sekali, bahkan ada yang dirumahkan, disingkirkan dari sekolah tempat mereka bekerja. Sungguh sebuah ironi, orang yang berkata dan berbuat benar malah diberi sanksi, sementara yang berbuat salah malah dipuji. Tapi itulah sebagian dari realitas dunia pendidikan kita.
Sebagai seorang pendidik sejujurnya saya agak takut tidak akan mempunyai jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan para murid berkait dengan hal tersebut. Bagaimana mungkin kecurangan malah bersarang di institusi sekolah yang notabene tempat dimana nilai-nilai keutamaan disemaikan? Kok, orang yang jujur dan berani mengungkapkan kebenaran malah dibungkam dan disingkirkan? Lebih takut lagi, apa yang saya dan juga banyak guru lain sampaikan di kelas tentang kejujuran, kebenaran, tanggung jawab dan berbagai nilai keutamaan yang lain tak lagi digubris oleh murid-murid, ketika apa yang mereka lihat dan saksikan sehari-hari adalah praktik-praktik yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur kehidupan itu. Mungkin kita maklum, hal yang sudah lumrah jika perilaku semacam itu terjadi di pentas politik. Tapi jika kecurangan itu juga terjadi dan merambahi dunia pendidikan, maka sesungguhnya ada banyak hal yang dipertaruhkan di sana.
Saya meyakini sebuah kebohongan akan selalu melahirkan kebohongan-kebohongan baru lainnya. Hanya soal menunggu waktu saja. Jika kita tahu mana yang benar dan mana yang salah, tapi secara sadar sepakat memilih yang salah dan mengabaikan yang benar, maka sebenarnya kita hanya tinggal menunggu kapan ‘malapetaka’ itu akan menimpa. Dan sayangnya, mungkin ‘malapetaka’ itu tidak menimpa para pelakunya, tapi akan menyebabkan penderitaan bagi banyak orang lain, yang bisa jadi mereka tidak tahu apa-apa. Mereka inilah yang disebut korban atau yang dikorbankan.
Kalau kita mau merunut ke belakang, sebenarnya ujian nasional (UN) sudah seringkali ditunjukkan lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Tapi toh tetap dipilih untuk dilaksanakan, dengan berbagai dalih dan alasan yang dibungkus rasionalisasi intelektualitas tingkat tinggi tapi tidak jujur dengan realitas senyatanya. Demi peningkatan mutu pendidikan, sebagai pemicu dan pemacu anak agar bekerja keras, UN di gelar di seluruh pelosok negeri. Tapi siapa yang berani menjamin dengan UN mutu pendidikan kita menjadi lebih baik? Siapa bilang UN memacu anak murid kita belajar bagaimana bekerja keras?
Realitas yang terjadi bukannya bekerja keras, tapi mencari jalan pintas dengan melakukan berbagai kecurangan. Dan jangan kaget jika yang melakukan kecurangan itu mulai dari siswa, guru, pengawas, kepala sekolah, hingga dinas pendidikan. Mengapa? Karena UN telah menjadi tujuan proses persekolahan. Gagal UN berarti kegagalan proses pendidikan. Oleh karena itu diusahakan bagaimana caranya agar sedikit mungkin siswa yang tidak lulus UN, termasuk dengan berbuat curang. Sungguh tragis mempertaruhan kejujuran demi nilai 4,25 di atas selembar kertas ijazah. Inilah salah satu bukti, jika kita melakukan sebuah pilihan yang salah, biasanya kita akan cenderung melakukan atau membuat kesalahan baru yang lain.
Itu baru yang tampak dipermukaan. Kalau kita mau masuk lebih dalam lagi ke sekolah-sekolah kita, maka kita akan menjumpai bagaimana kebenaran itu seringkali diingkari, bagaimana kejujuran mulai menjadi barang langka. Kenaikan kelas sekarang tampaknya juga mulai setali tiga uang dengan kelulusan UN. Demi kenaikan kelas tidak jarang aturan kenaikan kelas yang sudah dibuat dan disosialisasikan kepada para murid dan orangtua siswa dengan mudahnya diubah. Atau jangan kaget, jika tiba-tiba pada akhir tahun ajaran guru berubah profesi menjadi “pesulap-pesulap” yang dengan mudahnya bisa mengubah nilai, agar siswa naik kelas. Tidak sedikit siswa yang terbengong-bengong tidak mengerti melihat hasil sulapan tingkat tinggi itu, melihat temannya atau dirinya sendiri naik kelas. Padahal dari hitung-hitungan nilai ulangan harian, tagihan-tagihan dan nilai ulangan umum yang diperoleh mestinya tidak naik tapi ternyata siswa itu tetap naik kelas.
Pun dalam proses keseharian, praktik ketidakjujuran dibiarkan merajalela di ruang-ruang kelas ketika ulangan berlangsung. Maka jangan heran, jika sekarang sulit ditemukan murid yang lebih memilih belajar daripada main game atau kongkow di mall. Tidak merasa cemas meski jarang belajar, karena apapun hasil belajarnya mereka pasti akan naik kelas atau lulus sekolah. Sekolah rasanya telah kehilangan arti-maknanya. Maka juga tidak perlu heran, jika ke depan nanti negara ini akan terus menonjol dan menjadi juara dalam hal korupsi.
Inilah yang terjadi jika kita terlalu silau dan memuja prestasi artifisial. Lebih memilih angka-angka statistik yang tinggi dari hasil manipulasi demi memperoleh predikat berhasil, tapi mengabaikan kejujuran dan kebenaran. Beginilah jadinya jika institusi pendidikan lebih memilih menggadaikan nilai-nilai keutamaan seperti kejujuran, tanggung jawab, kebenaran dan menggantikannya dengan angka-angka tinggi di raport atau ijazah. Hal ini juga terjadi sebagai konsekuensi atas pilihan kebijakan pendidikan kita yang lebih mengedepankan hasil daripada proses. Akibat dari praktik pendidikan yang mendewakan pengetahuan kognitif, tapi abai dengan pembentukan karakter pribadi siswa.
Selama ini tanpa disadari usaha pendidikan kita seringkali berlangsung secara otomatis, tidak mempedulikan sasaran-sasaran serta tujuan-tujuannya yang sejati. Murid yang semestinya menjadi pusat perhatian dalam proses pendidikan seringkali diabaikan sebagai faktor utama dalam pemikiran tentang pendidikan maupun kebijakan-kebijakan pendidikan. Menurut Leo Tolstoy, kegagalan dalam mengenali fakta pokok ini menyuburkan penyimpangan-penyimpangan dan kesalahan konsep yang menjamin kegagalan pendidikan: ketergantungan murid, ketidaksenangan murid untuk belajar, dan akhirnya kepicikan dalam ‘produk’ pendidikan.
Rasanya kita perlu untuk mengajukan kembali pertanyaan: untuk apakah proses pendidikan diberlangsungkan? Misi pendidikan adalah mewariskan ilmu dari generasi ke generasi selanjutnya. Ilmu yang dimaksud antara lain: pengetahuan, tradisi, dan nilai-nilai budaya (keberadaban). Diharapkan dengan pendidikan tersebut akan menjadikan generasi yang lebih baik dan beradab. Pendidikan menjadi jalan membebaskan kemanusiaan, untuk memanusiakan manusia.
Sayangnya, maksud dan tujuan pendidikan seperti ini seringkali kandas oleh karena kebijakan pemerintah yang lebih bersifat politis ketimbang keinginan dan niat untuk mewujudkan misi pendidikan yang sesungguhnya. Namun begitu, harapan akan pendidikan yang lebih baik, pendidikan yang jujur dan benar, pendidikan yang menghargai nilai-nilai kemanusian mesti terus dihidupkan. Kita bersyukur masih ada orang-orang yang berani berkata jujur di negeri ini. Orang-orang muda dari kelompok air mata guru sudah memulainya dengan menyuarakan kebenaran, meski untuk itu mereka harus dipinggirkan dan disingkirkan. Moga-moga apa yang mereka lakukan mengingatkan dan menginspirasi kita untuk mulai belajar jujur. Moga-moga dengan berani jujur, kita para guru nantinya tidak perlu lagi mencari-cari jawaban atas celetuk tanya seorang murid, “Sekolah kok bohong?!”@

Tidak ada komentar: