05 Januari 2008

Siapa Bilang Jadi Guru Gampang

Siapa Bilang Jadi Guru Itu Gampang

Yogyakarta (Kompas: 04/12/06)Selama ini guru cenderung dianggap sebagai profesi kelas dua. Sebagian besar orang tidak mau menjadi guru, kecuali karena kepepet alias daripada menganggur. Ada anggapan seakan siapa pun yang sudah mengantongi ijazah sarjana bisa menjadi guru asal dia mau. Pekerjaannya juga mudah, hanya pagi datang, mengajar, siang sudah bisa pulang.
Profesi guru cenderung dianggap gampang. Orang sering kali lupa bahwa guru memegang peranan penting dalam proses pendidikan. Walaupun bukan merupakan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan, guru tetaplah merupakan titik sentral proses pendidikan. Tanpa guru, proses pendidikan akan timpang.
Lahirnya Undang-Undang (UU) Guru dan Dosen membawa sedikit angin segar bagi profesi guru. UU ini menjadi semacam payung hukum, sekaligus merupakan bentuk pengakuan pemerintah terhadap profesi guru. Diharapkan dengan adanya UU Guru dan Dosen martabat guru semakin dihargai, profesi guru dapat berkembang sejajar dengan profesi-prosesi lain, dapat mendorong peningkatan kualitas guru, dan akhirnya bermuara pada peningkatan mutu pendidikan di Tanah Air.
Paling tidak dengan adanya UU Guru dan Dosen, saat ini profesi guru pun mulai dilirik orang, khususnya setelah UU tersebut menjanjikan perbaikan kesejahteraan guru, yaitu tunjangan sebesar satu kali gaji pokok dan tambahan tunjangan fungsional. Meski demikian, UU Guru dan Dosen juga membawa konsekuensi yang tidak mudah bagi para guru. Meski menjanjikan perbaikan kesejahteraan bagi para guru, UU ini juga menuntut banyak hal dari para guru.
Sebelum mencicipi tunjangan sebesar satu kali gaji pokok dan tambahan tunjangan fungsional sebesar Rp 500.000 per bulan, guru mesti memenuhi berbagai persyaratan terlebih dahulu. Kualifikasi akademis minimal strata satu (S1) atau D-IV, serta harus memiliki sertifikat pendidik yang diperoleh melalui pendidikan profesi dan serangkaian uji kompetensi.
Syarat tersebut tampaknya hal yang lumrah, tuntutan yang wajar bagi sebuah profesi. Namun, tidak demikian halnya dengan profesi guru di negeri ini. Jika kita menengok realitas guru saat ini, persyaratan tersebut merupakan masalah dan tantangan yang berat. Dari hampir 2,7 juta guru di Indonesia, 1,8 juta guru belum memenuhi kualifikasi akademis S1. Di tingkat sekolah menengah tidak begitu parah; 62,08 persen guru sekolah menengah telah mengantongi ijazah S1. Akan tetapi, di tingkat pendidikan dasar, terutama SD, situasinya sangat parah. Dari sekitar 1,3 juta guru SD, hanya 8,3 persen yang telah memenuhi kualifikasi akademis S1. Program massalisasi peningkatan derajat akademik guru SD menjadi D-II pun selama belasan tahun hanya mencapai 40 persen.
Kebanyakan guru SD hanya berkualifikasi D-I atau di bawahnya. Untuk memenuhi syarat kualifikasi akademis harus S1 berarti sebanyak 1,8 juta guru harus menempuh studi lagi. Padahal, UU Guru dan Dosen hanya memberi batasan waktu hingga 10 tahun ke depan. Mungkinkah? Dananya dari mana? Apakah pemerintah mampu membiayai?
Jika guru sendiri yang harus membiayai, tampaknya dengan situasi taraf penghidupan guru sekarang akan sulit untuk direalisasikan. Selain itu juga harus diingat keterbatasan LPTK dalam menampung guru yang akan melanjutkan studi guna memenuhi kualifikasi akademik S1. Jadi, bisa dipastikan akan ada banyak guru yang tercecer. Artinya, hingga 10 tahun ke depan mungkin masih akan banyak guru yang belum memenuhi kualifikasi akademis S1. Situasi demikian akan memunculkan kompetisi yang sangat ketat di antara para guru. Para guru mau tidak mau harus bersaing dengan sesama guru lainnya supaya tetap bisa bertahan menjadi guru.
Bukan jaminan
Apakah ketika kualifikasi akademis S1 dipenuhi sudah berarti selesai? Ternyata syarat kualifikasi akademis S1 itu pun juga belum cukup, guru mesti memperoleh sertifikat pendidik lagi. Betapa susahnya bagi guru hanya untuk sekadar memperoleh tunjangan profesional sebesar satu kali gaji pokok dan tunjangan fungsional sebesar Rp 500.000. Jadi, siapa bilang jadi guru gampang?
Juga harus diingat, memenuhi kualifikasi akademis S1, memiliki sertifikat pendidik, maupun lulus uji kompetensi tidak dengan sendirinya menjamin seorang guru berkualitas dan layak mengajar atau dengan sendirinya menjadikan seorang guru menjadi profesional. Apalagi jika semua itu diperoleh melalui jalan pintas, hanya formalitas. Kualifikasi akademis S1 dan sertifikat pendidik hanyalah tuntutan formal-legal yang harus dipenuhi seseorang untuk menjadi guru. Akan tetapi, kualitas guru yang sesungguhnya ditentukan oleh profesionalitas dan kecintaannya pada profesi yang digeluti, yaitu ketika mereka berada di ruang kelas bersama-sama dengan dan melayani siswa. Mengajar dan mendidik, memanusiakan manusia-manusia muda. Hal ini sesungguhnya jauh lebih sulit dipenuhi dan sekaligus menjadi tantangan yang tiada habisnya bagi seorang guru.
Dinamika pendidikan di negeri ini yang sangat fluktuatif, mudah berubah-ubah, menuntut guru untuk bisa fleksibel, adaptif dan bergerak dengan cepat. Kurikulum pendidikan yang senantiasa bisa berganti sewaktu-waktu adalah contoh yang bisa ditunjuk untuk mengilustrasikan situasi ini. Demikian juga dengan ujian nasional (UN), yang selalu tidak jelas pada setiap awal tahun pelajaran, antara ada dan ditiadakan, dengan kriteria/standar kelulusan yang berubah-ubah dan sering kali baru ada kepastian beberapa bulan menjelang pelaksanaan UN. Berhadapan dengan situasi demikian, di mana guru acap kali menjadi obyek kebijakan pendidikan, sungguh dibutuhkan ketahanan, kesabaran, penyesuaian, dan penyikapan yang tidak mudah.

Guru senantiasa dituntut untuk berkembang seiring berkembangnya zaman. Sebab, zaman yang berubah juga menuntut perubahan peranan guru dalam proses pendidikan. Jika sebelumnya peran guru menekankan pembentukan wawasan serta pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan pada abad industri, kini peran guru mesti bergeser menjadi fasilitator pembelajaran yang merupakan tuntutan abad informasi.
Perubahan ini tidak berarti tugas dan tanggung jawab guru menjadi lebih ringan karena guru tetap memiliki tanggung jawab dalam pembentukan pengetahuan, keterampilan dan sikap-nilai dari proses pembelajaran yang berlangsung, serta bertanggung jawab untuk berpartisipasi secara nyata dalam upaya pencapaian tujuan pendidikan secara utuh. Konsekuensinya, guru mesti memahami karakteristik dan isi bahan ajar, menguasai konsep, mengenal metodologi ilmu yang diampunya, memahami konteks bidang studi itu, juga kaitannya dengan masyarakat, lingkungan, dan ilmu pengetahuan lain. Selain itu, guru juga dituntut untuk mengenal lebih dalam kepribadian para siswanya.
Oleh karena itu, guru mesti juga memahami pendekatan personal, menguasai ilmu psikologi dan perkembangan anak, menguasai teori-teori pedagogis, menguasai serta mampu mengembangkan berbagai model pembelajaran. Hal ini menuntut peningkatan kualitas dan kompetensi dari para guru, dengan terus-menerus memperbarui diri sesuai dengan tuntutan zaman. Lebih dari itu, guru mesti mencintai profesinya. Kecintaan akan profesi merupakan pintu masuk bagi guru untuk menjadi profesional dan berkualitas. Seperti jejaka mencintai gadis pujaannya, ia rela melakukan apa saja demi gadis yang dicintainya. Jika guru mencintai profesinya, mencintai anak-anak didiknya, apa pun hambatan dan kesulitan yang dihadapi—apalagi hanya gaji yang rendah atau tunjangan yang disunat—tidak akan sanggup mematahkan semangat guru untuk berkarya demi memanusiakan manusia-manusia muda.
Dan, untuk dapat mencintai profesinya, guru harus menengok kembali ke belakang, mengapa ia menjadi guru. Memurnikan kembali motivasi awal menjadi guru. Menghapus keterpaksaan masa lalu dan menukarnya dengan kejernihan visi dan misi baru. Bahwa dengan memilih menjadi guru, ada tanggung jawab moral dan sekaligus tanggung jawab sosial yang jauh lebih besar daripada sekadar keterpaksaan diri, yang mesti diemban oleh guru. Dan, harus diakui, ini juga bukan perkara mudah. Butuh proses yang sangat panjang.
Jadi, siapa bilang jadi guru itu gampang! Indonesia, hargailah gurumu! Hanya dengan cara begitu pendidikan di negeri ini akan maju.
HJ Sriyanto, Guru SMA Kolese De Britto, Yogyakarta

Tidak ada komentar: