13 Maret 2008

Mempertimbangkan Masa Depan Anak-Anak Kita

Apa yang dilakukan terhadap anak-anak pada saat sekarang, akan menentukan keberlangsungan sejarah peradaban negeri ini. Kejayaan atau keterbelakangan bangsa ini di masa depan sangat ditentukan oleh apa yang terjadi pada anak-anak di masa kini. Dengan kata lain, di tangan-tangan anak-anaklah masa depan bangsa berada.
Salah satu yang diyakini dapat menyiapkan dan membekali generasi yang berkualitas di masa mendatang adalah pendidikan. Bahkan ada sementara pihak yang meyakini bahwa kejayaan suatu bangsa hanya bisa dicapai melalui pendidikan. Pendidikan merupakan investasi paling besar yang harus dilakukan oleh suatu bangsa, jika ingin menjadi bangsa yang terhormat. Negara miskin sumber daya alam seperti Jepang, Singapura, atau negara-negara di Eropa, menjadi bangsa ‘berjaya’ bukan lantaran sumber daya alamnya, melainkan karena pendidikan. Sudah sejak awal mula mereka menyadari pentingnya untuk menempatkan pendidikan sebagai prioritas dalam pembangunan. Sehingga wajar jika sekarang negara-negara tersebut memiliki sumber daya manusia berkualitas yang mampu bersaing dan mengendalikan percaturan global.
Jika menengok kondisi pendidikan anak-anak Indonesia saat sekarang, boleh dibilang masih cukup memprihatinkan. Saat ini 44 juta penduduk Indonesia usia sekolah tidak terlayani pendidikannya, atau putus sekolah. Data Balitbang Depdiknas menunjukkan masih sekitar 19 juta anak usia 0 sampai 6 tahun belum mendapat pendidikan. Sekitar 2 juta anak usia 7 sampai 12 tahun tidak terakses di sekolah dasar. Sekitar 7 juta anak usia 13 hingga 15 tahun tidak terakses di SLTP. Dan sekitar 16 juta penduduk usia 15 tahun ke atas masih menyandang buta aksara. Itulah realitas jutaan anak-anak Indonesia berkaitan dengan akses pendidikan.
Namun kenyataan tersebut tampaknya belum menjadi keprihatinan banyak pihak di negeri ini. Sebaliknya banyak pihak cenderung menutup mata, tak peduli dengan nasib jutaan anak tersebut. Sebagai contoh konkrit, jika di suatu kampung, ada satu atau dua anak yang putus sekolah, biasanya hal itu tidak terperhatikan oleh masyarakat sekelilingnya, dan seringkali dianggap sebagai hal yang biasa dan dibiarkan begitu saja. Kalau di negeri ini ada tiga belas ribu pulau, ada tiga puluhan propinsi, ada tiga ratusan lebih kabupaten, dan di setiap kabupaten ada ratusan kampung, maka jika di satu kampung saja ada dua atau tiga anak yang putus sekolah, sudah berapa banyak anak putus sekolah yang dibiarkan dan dianggap sebagai suatu kewajaran? Hal yang tampaknya dianggap wajar, bukan merupakan suatu masalah, tapi jika dilihat secara makro, kaitannya dengan masa depan adalah masalah besar bagi bangsa ini.
Berbicara mengenai nasib jutaan anak yang kurang beruntung, tidak bisa dilepaskan dari kondisi bangsa saat ini. Keadaan negara yang belum mampu membebaskan diri dari jerat berbagai multi krisis, mulai dari krisis ekonomi, politik, sosial, keamanan sampai ancaman disintegrasi bangsa, berimbas pada sebagian besar masyarakat, khususnya lapisan masyarakat menengah ke bawah. Dampak yang paling kentara berkait dengan masalah ekonomi. Hampir sebagian besar masyarakat lapisan menengah ke bawah mengalami kesulitan ekonomi, bahkan untuk sekedar memenuhi kebutuhan dasar, seperti sandang, papan dan pangan saja seringkali tidak mampu.
Kesulitan ekonomi tersebut secara langsung atau tidak langsung juga akan membawa serangkaian imbas bagi anak. Banyak orangtua yang kemudian lebih banyak mencurahkan waktu dan perhatiannya untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi, sehingga anak kurang mendapatkan perhatian semestinya. Minimnya perhatian terhadap anak dewasa ini menjadi kecenderungan hampir sebagian besar keluarga di Indonesia, tidak saja keluarga kelas menengah ke bawah, tapi juga keluarga kelas atas. Bisa jadi, inilah salah satu sebab tingginya angka putus sekolah di Indonesia, yang secara absolut oleh Bank Dunia diprediksi mencapai hingga 4,5 juta anak setiap tahunnya.
Sementara di satu sisi kondisi ekonomi terpuruk, di sisi lain biaya pendidikan saat ini dirasakan cukup mahal, sehingga muncul adanya kecenderungan banyak orangtua memilih melakukan deschooling. Menyerahkan pendidikan anak-anaknya kepada komunitas, belajar dari pengalaman hidup sehari-hari dari masyarakat sekitarnya, atau malah membiarkan anak-anaknya mendidik diri sendiri di rumah atau di jalan. Bahkan akibat kesulitan ekonomi, akhirnya banyak anak usia dini memasuki dunia kerja. Ribuan anak ikut bekerja membanting tulang, hidup di jalanan kota-kota besar, menggantungkan hidup sebagai pedagang asongan, pengamen atau sekedar bermodal tangan kosong di perempatan jalan. Kehidupan sosial yang keras mau tak mau telah mempercepat proses pendewasaan mereka.
Pun akhir-akhir ini jumlah anak-anak yang terlantar pendidikannya kian bertambah sebagai akibat maraknya penggusuran yang terjadi di berbagai kota, korban bencana alam, ataupun karena kerusuhan akibat konflik di berbagai daerah seperti Aceh, Ambon, Sampit, Poso dan sebagainya yang semakin menambah deretan panjang jumlah anak yang tergusur dan terampas masa depannya.
Jutaan anak putus sekolah selama ini tidak banyak terperhatikan, sebagaimana pendidikan itu sendiri yang juga tidak pernah benar-benar menjadi prioritas dan selalu dikesampingkan dalam wacana politik bangsa ini. Kalah menarik dibandingkan gemerlap dunia politik, dengan hingar-bingar perebutan kursi kekuasaannya. Seringkali pendidikan tidak lebih hanya sebagai alat dalam memenuhi agenda politik dan kepentingan tertentu. Pendidikan tidak diarahkan sebagai rekayasa budaya, tetapi diarahkan sebagai bagian dari proses pemenangan ideologi politik. Bagaimanapun, jutaan anak tersebut adalah juga anak-anak Indonesia. Sudah selayaknya banyak pihak memikirkan dan mempertimbangkan masa depan mereka, agar mereka tidak begitu saja hilang di telan jaman, menjadi generasi yang hilang.
Pendidikan merupakan salah satu sarana yang dapat membekali mereka untuk mampu bertahan dalam dunia yang kompetitif dewasa ini. Di dalam konstitusi negara disebutkan bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran, pun pemerintah telah mencanangkan wajib belajar 9 tahun. Itu artinya, bahwa siapapun anak usia sekolah, entah kaya atau melarat dan dimanapun berada, entah di kota, daerah pinggiran, desa atau daerah terpencil sekalipun, selama masih di wilayah teritori Indonesia memperoleh perlakuan dan kesempatan yang sama untuk mengakses pendidikan, atas tanggungan negara dan masyarakat. Jika konsisten dengan konstitusi tersebut, maka mestinya tidak akan ada jutaan anak-anak yang terlantar pendidikannya. Kemiskinan, penggusuran, kerusuhan dan konflik tidak seharusnya merampas masa depan jutaan anak-anak tersebut.
Di tengah situasi seperti saat sekarang, pendidikan yang berpihak pada yang lemah mesti dikedepankan. Konsekuensinya, pemerintah dan masyarakat bersungguh-sungguh memperhatikan pendidikan di negeri ini, termasuk dengan mengalokasikan anggaran pendidikan yang memadai. Pendidikan sebagai kunci pengembangan kualitas sumber daya manusia sudah selayaknya mendapatkan perhatian yang serius. Sebab jika tidak, bangsa ini ibarat tinggal menunggu waktu kapan negara ini jatuh terpuruk, menjadi bangsa terbelakang yang tidak mampu berbicara dalam percaturan kancah dunia global. Selain itu, tanpa disadari dengan minimnya anggaran yang dialokasikan untuk sektor pendidikan, sebenarnya ibarat menanam bom waktu. Banyaknya angka putus sekolah secara langsung ataupun tidak langsung akan menyumbang bagi terciptanya kerawanan sosial. Rendahnya penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, toleransi yang tinggi terhadap kejahatan kiranya lebih mahal taruhannya dibandingkan dengan anggaran yang dikeluarkan untuk sektor pendidikan.
Sudah saatnya menumbuhkan apresiasi dan partisipasi masyarakat terhadap pendidikan. Sentralisasi pendidikan yang berlangsung selama ini cenderung membatasi masyarakat dalam kungkungan paradigma yang sempit. Pendidikan, masih belum dipahami sebagai tanggung jawab bersama, melainkan hanya sebagai tanggung jawab pemerintah. Masyarakat belum secara optimal turut ambil bagian dalam pendidikan, partisipasi masyarakat masih sebatas pendanaan, keterlibatan belum sampai pada tataran pengambilan keputusan, evaluasi, dan akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan.
Bagaimanapun pendidikan harus diupayakan agar dapat diakses masyarakat secara luas, dan terutama masyarakat yang kurang beruntung. Munculnya pendidikan alternatif yang mulai berkembang di tengah-tengah masyarakat, terutama pendidikan bagi masyarakat yang terpinggirkan, yang diselenggarakan oleh berbagai pihak dalam beberapa waktu terakhir patut mendapat dukungan bersama. Dengan adanya pendidikan alternatif demikian akan memperluas akses terhadap pendidikan, terutama bagi mereka yang sulit terjangkau pendidikan formal, baik karena alasan demografi yang terpencil, kemiskinan, penggusuran, maupun sebab ketidakberdayaan sebagai akibat bencana alam, konflik atau kerusuhan. Dengan demikian, akan semakin banyak anak-anak kurang beruntung yang dapat mengakses pendidikan, sehingga mereka juga memperoleh kesempatan membekali diri dengan pendidikan. Tidak hanya sekedar menjadi penonton dan obyek pembangunan yang terpinggirkan.@

Pendidikan, Untuk Siapa?

Sampai saat sekarang pendidikan masih diyakini sebagai salah satu kunci pengembangan kualitas sumber daya manusia. Namun demikian, sebagian besar masyarakat terancam tidak dapat mengakses pendidikan, karena biayanya yang mahal. Bayangkan saja, Pendidikan untuk balita seperti play group, pra-TK dan TK uang masuknya jutaan rupiah. Uang SPP di SD mencapai ratusan ribu per bulan. Pun biaya pendidikan di sekolah menengah, apalagi di Perguruan Tinggi. ITB malah membuka jalur penerimaan mahasiswa baru khusus dengan syarat pembayaran 45 juta untuk tiap calon mahasiswa. Bahkan Departemen Teknik Fisika ITB menyediakan 10 bangku untuk mahasiswa baru dengan harga 25.000 dolar AS perbangkunya (Kompas, 8/5/2003).
Biaya pendidikan yang semakin mahal tidak lepas dari rendahnya anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk sektor pendidikan. Rasio anggaran pendidikan di Indonesia terus mengalami penurunan sejak tahun 1981 hingga sekarang. Dalam APBN 2001 pemerintah hanya mengalokasikan 4,4 % dari total APBN atau sekitar Rp 9,707 triliun. Sedangkan RAPBN 2002, meski terdapat kenaikan menjadi Rp 11,552 triliun, namun tetap tidak signifikan dibandingkan dengan sektor yang lainnya. Dan meskipun pasal 31 UUD 1945 yang telah diamandemen mensyaratkan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN. Dalam kenyataannya anggaran sektor pendidikan dalam RAPBN 2003 hanya Rp 13,6 triliun atau sekitar 4,15 % dari APBN, masih kalah dibanding anggaran untuk bidang pertahanan dan keamanan, yaitu 7,5 % atau sekitar Rp 24,7 triliun.
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa perhatian pemerintah terhadap pendidikan masih sangat kurang. Betapa pendidikan tidak dianggap sebagai kekuatan dasar dari pembangunan bangsa. Pendidikan tidak dipandang sebagai investasi jangka panjang dan aset masa depan. Minimnya dana pendidikan yang dianggarkan pemerintah menyebabkan lembaga pendidikan harus berupaya untuk mencukupi biaya operasional penyelenggaraan pendidikannya, dan hal itu paling gampang dilakukan dengan menaikan biaya pendidikan. Akhirnya yang menanggung bebannya adalah masyarakat, sehingga semakin banyak masyarakat yang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan dasar di bidang pendidikan.
Komersialisasi pendidikan yang berkembang dewasa ini juga berdampak pada mahalnya biaya pendidikan. Lembaga Pendidikan cenderung beralih fungsi menjadi lembaga bisnis. Meskipun hal itu sebenarnya juga tidak terlepas dari tuntutan otonomi pendidikan, dimana lembaga pendidikan dituntut untuk mengatur dan mengelola lembaganya secara mandiri termasuk dalam hal anggaran pendidikan. Peralihan status PTN menjadi Badan Hukum Milik Negara, dan menjamurnya perguruan tinggi yang hanya bertujuan mendapatkan mahasiswa sebanyak-banyaknya tanpa ditopang dengan kualitas dan fasilitas pendukung proses pendidikan yang memadai adalah beberapa yang bisa dicontohkan sebagai penyebab mahalnya pendidikan.
Di sisi lain, budaya materialisme dan konsumerisme yang berkembang dalam masyarakat telah menempatkan penghargaan terhadap pendidikan pada titik yang rendah. Pendidikan dianggap tidak lebih sebagai product untuk menaikkan gengsi. Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin tinggi gengsinya, tanpa menghitung kualitasnya. Berbagai upaya dilakukan agar dapat diterima di lembaga pendidikan yang dianggap bisa menaikkan gengsi, termasuk dengan cara membayar mahal uang sekolah. Pada titik inilah terjadi kompromi antara lembaga pendidikan dan orangtua. Akhirnya yang berduitlah yang mampu mengenyam pendidikan, meski dari sisi akademis tidak mampu. Sebaliknya anak didik yang memiliki kemampuan akademis baik, karena secara ekonomis tidak mampu maka ia tidak dapat memperoleh pendidikan yang baik.
Biaya pendidikan yang semakin mahal dan tidak terjangkau akan berimplikasi pada banyaknya angka putus sekolah. Data Balitbang Depdiknas menunjukkan bahwa sekitar 29,8% siswa SD tidak menyelesaikan sekolah, di tingkat SLTP 14,8% dan SMU sekitar 13,4%. Tahun 2000 saja, sedikitnya 7,2 juta anak di seluruh Indonesia tidak mampu merasakan bangku sekolah, baik di jenjang SD, SLTP dan SLTA. Ada kecenderungan karena biaya pendidikan sangat mahal orangtua yang secara ekonomi lemah terpaksa melakukan deschooling, menyerahkan pendidikan kepada komunitas, belajar dari pengalaman hidup sehari-hari dari masyarakat sekitarnya. Kesulitan ekonomi telah memaksa orangtua bekerja keras sepanjang hari dan membiarkan anaknya mendidik diri sendiri di rumah atau di jalan. Bahkan tidak sedikit anak usia dini yang memasuki dunia kerja.
Meskipun dalam konstitusi negara disebutkan bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran, pun pemerintah telah mencanangkan wajib belajar 9 tahun, namun masih banyak masyarakat yang tidak dapat mengeyam pendidikan. Kemiskinan telah menyebabkan kemampuan mengakses pendidikan terputus. Dalam situasi demikian, pendidikan yang berpihak pada rakyat kecil mesti dikedepankan. Pendidikan bukan hanya monopoli kalangan berduit saja, kalangan bawahpun berhak mendapatkan pendidikan yang layak.
Melihat realitas pendidikan yang semakin mahal dan tidak terjangkau oleh sebagaian besar masyarakat, kiranya perlu mendesakkan kepada pemerintah untuk mengedepankan sektor pendidikan sebagai prioritas dalam pembangunan. Perhatian pemerintah harus diwujudkan dengan menaikkan anggaran pendidikan, minimal seperti yang diamanatkan dalam pasal 31 amandemen UUD 1945, yaitu 20% dari APBN. Sudah saatnya pendidikan sebagai kunci pengembangan kualitas sumber daya manusia mendapatkan perhatian yang serius. Sebab jika tidak, bangsa ini tidak akan mampu bersaing dalam kancah percaturan dunia global yang kompetitif. Selain itu, tanpa disadari dengan minimnya anggaran yang dialokasikan untuk sektor pendidikan, pemerintah telah menanam bom waktu. Banyaknya angka putus sekolah secara langsung ataupun tidak langsung akan menyumbang bagi terciptanya kerawanan sosial. Rendahnya penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, toleransi yang tinggi terhadap kejahatan kiranya lebih mahal taruhannya dibandingkan anggaran yang dikeluarkan pemerintah untuk pendidikan.
Selain itu, kiranya perlu merumuskan kembali orientasi pendidikan. Pendidikan terutama pendidikan dasar dan menengah harus mengarah pada keterbentukan karakter pribadi peserta didik. Dengan bekal karakter pribadi yang kuat, memiliki sikap kemandirian, kepercayaan terhadap kemampuan sendiri, dan menjunjung nilai-nilai kemanusiaan peserta didik akan sanggup survival dalam persaingan global. Mereka akan sanggup menciptakan peluang kerja alternatif dan akan terus belajar dengan caranya sendiri, meski tidak lewat pendidikan formal.@

Membaca Kekerasan dalam Praksis Pendidikan Kita

Kekerasan dewasa ini hampir menghinggapi seluruh segi kehidupan. Multi krisis yang tengah dialami negeri ini, telah banyak melahirkan kekerasan. Pun kekerasan tak luput hadir dan turut mewarnai dunia pendidikan kita. Tawuran antar pelajar hampir setiap kali terjadi dan terus berulang dari tahun ke tahun. Tidak jarang kita pun mendengar berita guru melakukan kekerasan terhadap anak muridnya. Dan yang membuat miris, kekerasan tersebut tidak hanya menyebabkan luka, tapi bahkan sampai ada yang merenggut nyawa.
Mungkin akan sedikit sulit untuk menerima kenyataan bahwa kekerasan hadir dan ikut mewarnai praksis pendidikan kita. Bagaimana mungkin pendidikan yang seharusnya melahirkan insan-insan humanis malah mencetak para pelaku tindak kekerasan? Pelajar dan mahasiswa yang notabene adalah produk dari institusi pendidikan, orang-orang yang berproses dan bergelut di dalam dunia pendidikan, mengapa dengan mudahnya melakukan aksi kekerasan? Sungguh merupakan hal yang ironis. Bagaimana mungkin mereka bertindak tanpa kejernihan pikiran dan perasaan, tapi sebaliknya cenderung emosional dan ngotot menganggap dirinya yang paling benar. Dimanakah sikap kritis, kedewasaan pola pikir yang mencirikan sebagai individu yang berproses dalam pendidikan? Tanpa berpikir panjang dan secara emosional melempari dan merusak fasilitas umum, mengeroyok, menggebuki bahkan sampai menghilangkan nyawa. Adakah ini tanda-tanda kegagalan proses pendidikan kita? Mengapa institusi pendidikan malah seringkali melahirkan tindak kekerasan?
Apa yang terjadi diatas bisa jadi mengindikasikan adanya gejala kemerosotan dan semakin rendahnya penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Dan apabila mau merunut dan merefleksikan kembali praksis pendidikan yang berlangsung selama ini, kiranya wajar jika hal tersebut terjadi. Mengapa? Karena seperti diungkapkan St. Kartono (2002;129), praksis pendidikan kita dari jenjang sekolah dasar sampai pendidikan tinggi menganut supremasi IQ alias pendewaan akal, sementara perasaan tidak pernah digarap secara formal strategis.
Kurikulum pendidikan kita yang begitu padat, tidak cukup memberikan ruang bagi pendidik dan peserta didik untuk lebih dalam menggali kemampuan, potensi, kebenaran dan keindahan serta sikap perilaku yang terbuka. Proses pendidikan menjadi tidak cukup bermakna. Pendidik dan peserta didik telah kehilangan kesempatan untuk mengolah pengalaman belajar, untuk memaknai proses pendidikan. Kondisi ini masih diperparah lagi dengan tuntutan orang tua kepada para peserta didik untuk mengikuti berbagai aktivitas diluar kegiatan belajar di sekolah, seperti les pelajaran atau kursus-kursus lain. Hal ini tanpa disadari telah menjauhkan peserta didik dari realitas kehidupan di sekitarnya. Mencerabut kesempatannya untuk bersosialisasi, yang memungkinkannya untuk lebih dekat mengenal dan mengembangkan sisi kemanusiaannya. Akibatnya, banyak peserta didik yang tidak semakin pandai atau cerdas. Namun sebaliknya, justru dengan semakin banyak dijejali berbagai macam les dan kursus, peserta didik akan kehilangan martabat kemanusiaannya dan tidak humanis.
Proses pendidikan yang berlangsung selama ini cenderung lebih menekankan pada pengembangan sisi kognitif belaka dan mengesampingkan pengembangan sisi afektif dan sisi-sisi kemanusiaan peserta didik. Hati dan rasa sebagai penyeimbang akal pikir, jarang sekali mendapatkan pengasahan dalam proses pendidikan. Demikian juga dengan kepekaan sosial atau kepedulian terhadap sesama, tidak pernah terlatih dengan baik karena tidak pernah dihadirkan dalam praksis pendidikan. Kalau proses pendidikan mengasingkan peserta didik dari realitas kemanusiaannya, maka yang terjadi mereka pun akan tumbuh dengan mengabaikan penghargaan terhadap sesamanya sebagai manusia. Sehingga tidak mengherankan apabila terjadi tindak-tindak kekerasan seperti pengroyokan, pemukulan dan tindak anarkis lainnya, yang dilakukan pelajar atau mahasiswa karena mereka jarang sekali berbicara dengan hati atau perasaan, tidak mengasah kepekaan sosial dan kurang bersentuhan dengan realitas sosial mereka.
Selain itu, seperti diungkapkan Prof. Kurt Singer seorang ahli pedagogi dari Jerman, bahwa sekolah bukan lagi tempat yang nyaman bagi anak-anak. Sistem pendidikan sekolah mau tak mau menjadikan guru sebagai agen yang mengawasi, menindas dan merendahkan martabat siswa. Sekolah menjadi lingkungan penuh sensor yang mematikan bakat dan gairah anak untuk belajar. Pekerjaan dan kewajiban sekolah menjadi diktator yang memusnahkan kemampuan anak untuk belajar menjadi dirinya. Sekolah bukan lagi tempat untuk belajar melainkan tempat untuk mengadili dan diadili. (Sindhunata, Majalah Basis hal. 3 edisi Januari-Februari 2001). Tanpa disadari sekolah telah menjadi tempat bagi berlangsungnya penindasan terselubung. Banyak kekerasan terselubung yang seringkali terjadi di sekolah tanpa disadari. Akibatnya, sebagai pelampiasan dari ketertekanan ini, ketika siswa berada di luar sekolah mereka melakukan tindak kekerasan dengan tawuran, pengrusakan fasilitas umum dan lain sebagainya. Meluapkan kefrustasian mereka dengan berbagai tindak destruktif .
Melihat kecenderungan diatas dan juga kecenderungan yang terjadi dalam masyarakat kita, dimana penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan begitu merosot. Baik kiranya untuk mulai membenahi semua itu dengan mengoreksi dari praksis pendidikan yang tengah berlangsung selama ini. Pendidikan mau tidak mau harus menyertakan dimensi kemanusiaan dalam praksisnya.
Menurut Mardiatmadja (1986), ada tiga prinsip yang dapat disumbangkan oleh humaniora, khususnya dalam kaitannya dengan praksis pendidikan. (1) Dalam proses pendidikan, pengembangan pikiran dan hati harus berjalan bersama. (2) Peserta didik harus diberi kesempatan untuk berkenalan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal dan abadi. (3) Dalam pendidikan harus ada kerjasama erat antara pendidik dan peserta didik serta antara teori dan praktek.
Apabila ketiga prinsip diatas di pegang dalam setiap praksis pendidikan, maka niscaya pendidikan akan sungguh dapat memanusiakan manusia yang berproses di dalamnya. Karena menghadirkan dimensi kemanusiaan dalam praksis pendidikan berarti menuntut interaksi pendidikan yang menempatkan pendidik dan peserta didik sebagai manusia dengan keseluruhan pribadinya yang utuh.
Agar dimensi kemanusiaan tetap dikedepankan dalam praksis pendidikan, kurikulun harus menyajikan materi yang memungkinkan bagi tumbuhnya sikap kritis peserta didik. Karena hanya dengan sikap kritis, pendidikan akan memberikan kemungkinan bagi peserta didik untuk memiliki kemampuan berpikir. Dengan kemampuan berpikir yang menyertakan daya kritis, maka pribadi yang belajar dapat terus-menerus mempermasalahkan pendapatnya sendiri dan membuat reinterprestasi atas dunianya. Sehingga dapat mengaktualisasikan dirinya secara utuh. Dengan demikian, akan terbuka ruang dialog yang merupakan bentuk perjumpaan antar sesama manusia. Banyak peristiwa kekerasan sebenarnya terjadi karena tiadanya ruang dialog semacam ini. Tiadanya komunikasi dan kurangnya pemahaman dan penghargaan terhadap kerangka berpikir orang lain yang berbeda, telah mengakibatkan pertentangan, pertumpahan darah dan bahkan hilangnya nyawa.
Pendidikan harus dapat mengembangkan peserta didik secara integral, yaitu seluruh sisi kemanusiaannya secara utuh. Dan ini hanya mungkin tercapai jika pendidikan bukan hanya memfokuskan diri pada sisi intelektual saja, tapi juga secara bersamaan mengolah sisi emosional, sosial dan spiritual dengan berimbang. Ada keseimbangan antara teori dan praksis yang terintegrasi dalam kehidupan peserta didik secara nyata. Tanpa itu semua, maka pendidikan akan timpang, tidak akan pernah menemukan makna yang sesungguhnya. Dan seharusnya kekerasan yang telah cukup berakar kuat dalam budaya masyarakat kita dapat dikikis dari praksis pendidikan yang menghadirkan dimensi kemanusiaan didalamnya. Semoga!@