13 Maret 2008

Mempertimbangkan Masa Depan Anak-Anak Kita

Apa yang dilakukan terhadap anak-anak pada saat sekarang, akan menentukan keberlangsungan sejarah peradaban negeri ini. Kejayaan atau keterbelakangan bangsa ini di masa depan sangat ditentukan oleh apa yang terjadi pada anak-anak di masa kini. Dengan kata lain, di tangan-tangan anak-anaklah masa depan bangsa berada.
Salah satu yang diyakini dapat menyiapkan dan membekali generasi yang berkualitas di masa mendatang adalah pendidikan. Bahkan ada sementara pihak yang meyakini bahwa kejayaan suatu bangsa hanya bisa dicapai melalui pendidikan. Pendidikan merupakan investasi paling besar yang harus dilakukan oleh suatu bangsa, jika ingin menjadi bangsa yang terhormat. Negara miskin sumber daya alam seperti Jepang, Singapura, atau negara-negara di Eropa, menjadi bangsa ‘berjaya’ bukan lantaran sumber daya alamnya, melainkan karena pendidikan. Sudah sejak awal mula mereka menyadari pentingnya untuk menempatkan pendidikan sebagai prioritas dalam pembangunan. Sehingga wajar jika sekarang negara-negara tersebut memiliki sumber daya manusia berkualitas yang mampu bersaing dan mengendalikan percaturan global.
Jika menengok kondisi pendidikan anak-anak Indonesia saat sekarang, boleh dibilang masih cukup memprihatinkan. Saat ini 44 juta penduduk Indonesia usia sekolah tidak terlayani pendidikannya, atau putus sekolah. Data Balitbang Depdiknas menunjukkan masih sekitar 19 juta anak usia 0 sampai 6 tahun belum mendapat pendidikan. Sekitar 2 juta anak usia 7 sampai 12 tahun tidak terakses di sekolah dasar. Sekitar 7 juta anak usia 13 hingga 15 tahun tidak terakses di SLTP. Dan sekitar 16 juta penduduk usia 15 tahun ke atas masih menyandang buta aksara. Itulah realitas jutaan anak-anak Indonesia berkaitan dengan akses pendidikan.
Namun kenyataan tersebut tampaknya belum menjadi keprihatinan banyak pihak di negeri ini. Sebaliknya banyak pihak cenderung menutup mata, tak peduli dengan nasib jutaan anak tersebut. Sebagai contoh konkrit, jika di suatu kampung, ada satu atau dua anak yang putus sekolah, biasanya hal itu tidak terperhatikan oleh masyarakat sekelilingnya, dan seringkali dianggap sebagai hal yang biasa dan dibiarkan begitu saja. Kalau di negeri ini ada tiga belas ribu pulau, ada tiga puluhan propinsi, ada tiga ratusan lebih kabupaten, dan di setiap kabupaten ada ratusan kampung, maka jika di satu kampung saja ada dua atau tiga anak yang putus sekolah, sudah berapa banyak anak putus sekolah yang dibiarkan dan dianggap sebagai suatu kewajaran? Hal yang tampaknya dianggap wajar, bukan merupakan suatu masalah, tapi jika dilihat secara makro, kaitannya dengan masa depan adalah masalah besar bagi bangsa ini.
Berbicara mengenai nasib jutaan anak yang kurang beruntung, tidak bisa dilepaskan dari kondisi bangsa saat ini. Keadaan negara yang belum mampu membebaskan diri dari jerat berbagai multi krisis, mulai dari krisis ekonomi, politik, sosial, keamanan sampai ancaman disintegrasi bangsa, berimbas pada sebagian besar masyarakat, khususnya lapisan masyarakat menengah ke bawah. Dampak yang paling kentara berkait dengan masalah ekonomi. Hampir sebagian besar masyarakat lapisan menengah ke bawah mengalami kesulitan ekonomi, bahkan untuk sekedar memenuhi kebutuhan dasar, seperti sandang, papan dan pangan saja seringkali tidak mampu.
Kesulitan ekonomi tersebut secara langsung atau tidak langsung juga akan membawa serangkaian imbas bagi anak. Banyak orangtua yang kemudian lebih banyak mencurahkan waktu dan perhatiannya untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi, sehingga anak kurang mendapatkan perhatian semestinya. Minimnya perhatian terhadap anak dewasa ini menjadi kecenderungan hampir sebagian besar keluarga di Indonesia, tidak saja keluarga kelas menengah ke bawah, tapi juga keluarga kelas atas. Bisa jadi, inilah salah satu sebab tingginya angka putus sekolah di Indonesia, yang secara absolut oleh Bank Dunia diprediksi mencapai hingga 4,5 juta anak setiap tahunnya.
Sementara di satu sisi kondisi ekonomi terpuruk, di sisi lain biaya pendidikan saat ini dirasakan cukup mahal, sehingga muncul adanya kecenderungan banyak orangtua memilih melakukan deschooling. Menyerahkan pendidikan anak-anaknya kepada komunitas, belajar dari pengalaman hidup sehari-hari dari masyarakat sekitarnya, atau malah membiarkan anak-anaknya mendidik diri sendiri di rumah atau di jalan. Bahkan akibat kesulitan ekonomi, akhirnya banyak anak usia dini memasuki dunia kerja. Ribuan anak ikut bekerja membanting tulang, hidup di jalanan kota-kota besar, menggantungkan hidup sebagai pedagang asongan, pengamen atau sekedar bermodal tangan kosong di perempatan jalan. Kehidupan sosial yang keras mau tak mau telah mempercepat proses pendewasaan mereka.
Pun akhir-akhir ini jumlah anak-anak yang terlantar pendidikannya kian bertambah sebagai akibat maraknya penggusuran yang terjadi di berbagai kota, korban bencana alam, ataupun karena kerusuhan akibat konflik di berbagai daerah seperti Aceh, Ambon, Sampit, Poso dan sebagainya yang semakin menambah deretan panjang jumlah anak yang tergusur dan terampas masa depannya.
Jutaan anak putus sekolah selama ini tidak banyak terperhatikan, sebagaimana pendidikan itu sendiri yang juga tidak pernah benar-benar menjadi prioritas dan selalu dikesampingkan dalam wacana politik bangsa ini. Kalah menarik dibandingkan gemerlap dunia politik, dengan hingar-bingar perebutan kursi kekuasaannya. Seringkali pendidikan tidak lebih hanya sebagai alat dalam memenuhi agenda politik dan kepentingan tertentu. Pendidikan tidak diarahkan sebagai rekayasa budaya, tetapi diarahkan sebagai bagian dari proses pemenangan ideologi politik. Bagaimanapun, jutaan anak tersebut adalah juga anak-anak Indonesia. Sudah selayaknya banyak pihak memikirkan dan mempertimbangkan masa depan mereka, agar mereka tidak begitu saja hilang di telan jaman, menjadi generasi yang hilang.
Pendidikan merupakan salah satu sarana yang dapat membekali mereka untuk mampu bertahan dalam dunia yang kompetitif dewasa ini. Di dalam konstitusi negara disebutkan bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran, pun pemerintah telah mencanangkan wajib belajar 9 tahun. Itu artinya, bahwa siapapun anak usia sekolah, entah kaya atau melarat dan dimanapun berada, entah di kota, daerah pinggiran, desa atau daerah terpencil sekalipun, selama masih di wilayah teritori Indonesia memperoleh perlakuan dan kesempatan yang sama untuk mengakses pendidikan, atas tanggungan negara dan masyarakat. Jika konsisten dengan konstitusi tersebut, maka mestinya tidak akan ada jutaan anak-anak yang terlantar pendidikannya. Kemiskinan, penggusuran, kerusuhan dan konflik tidak seharusnya merampas masa depan jutaan anak-anak tersebut.
Di tengah situasi seperti saat sekarang, pendidikan yang berpihak pada yang lemah mesti dikedepankan. Konsekuensinya, pemerintah dan masyarakat bersungguh-sungguh memperhatikan pendidikan di negeri ini, termasuk dengan mengalokasikan anggaran pendidikan yang memadai. Pendidikan sebagai kunci pengembangan kualitas sumber daya manusia sudah selayaknya mendapatkan perhatian yang serius. Sebab jika tidak, bangsa ini ibarat tinggal menunggu waktu kapan negara ini jatuh terpuruk, menjadi bangsa terbelakang yang tidak mampu berbicara dalam percaturan kancah dunia global. Selain itu, tanpa disadari dengan minimnya anggaran yang dialokasikan untuk sektor pendidikan, sebenarnya ibarat menanam bom waktu. Banyaknya angka putus sekolah secara langsung ataupun tidak langsung akan menyumbang bagi terciptanya kerawanan sosial. Rendahnya penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, toleransi yang tinggi terhadap kejahatan kiranya lebih mahal taruhannya dibandingkan dengan anggaran yang dikeluarkan untuk sektor pendidikan.
Sudah saatnya menumbuhkan apresiasi dan partisipasi masyarakat terhadap pendidikan. Sentralisasi pendidikan yang berlangsung selama ini cenderung membatasi masyarakat dalam kungkungan paradigma yang sempit. Pendidikan, masih belum dipahami sebagai tanggung jawab bersama, melainkan hanya sebagai tanggung jawab pemerintah. Masyarakat belum secara optimal turut ambil bagian dalam pendidikan, partisipasi masyarakat masih sebatas pendanaan, keterlibatan belum sampai pada tataran pengambilan keputusan, evaluasi, dan akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan.
Bagaimanapun pendidikan harus diupayakan agar dapat diakses masyarakat secara luas, dan terutama masyarakat yang kurang beruntung. Munculnya pendidikan alternatif yang mulai berkembang di tengah-tengah masyarakat, terutama pendidikan bagi masyarakat yang terpinggirkan, yang diselenggarakan oleh berbagai pihak dalam beberapa waktu terakhir patut mendapat dukungan bersama. Dengan adanya pendidikan alternatif demikian akan memperluas akses terhadap pendidikan, terutama bagi mereka yang sulit terjangkau pendidikan formal, baik karena alasan demografi yang terpencil, kemiskinan, penggusuran, maupun sebab ketidakberdayaan sebagai akibat bencana alam, konflik atau kerusuhan. Dengan demikian, akan semakin banyak anak-anak kurang beruntung yang dapat mengakses pendidikan, sehingga mereka juga memperoleh kesempatan membekali diri dengan pendidikan. Tidak hanya sekedar menjadi penonton dan obyek pembangunan yang terpinggirkan.@

Tidak ada komentar: